Senin, 13 Februari 2012

free softwares and tutorial: Softwares II

free softwares and tutorial: Softwares II: Diskkeeper 2010 Pro Premier Diskkeeper 2010 adalah software handal untuk melakukan defragmentasi pada hardisk. software ini sangat bagus ...

Kamis, 24 November 2011

Metode Eksperimen2

PENELITIAN TINDAKAN KELAS METODE EKSPERIMEN

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Menjadi bangsa yang maju tentu merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap negara di dunia. Salah satu faktor yang mendukung bagi kemajuan adalah pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan, sehingga suatu bangsa dapat diukur apakah bangsa itu maju atau mundur, sebab pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa. Apabila output dari proses pendidikan ini gagal maka sulit dibayangkan bagaimana dapat mencapai kemajuan. Bagi suatu bangsa yang ingin maju, pendidik harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan sama halnya dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Seperti sandang, pangan, dan papan, Namun, sangat miris rasanya melihat kondisi pendidikan di Indonesia saat ini (Neneng, 2007).
Menurut beberapa ahli, tujuan pendidikan khususnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) itu sendiri adalah mengembangkan kreatifitas siswa dan melatih siswa berfikir kritis. Dengan demikian, alangkah baiknya pembelajaran dirancang dan dilaksanakan berdasarkan tujuan pendidikan IPA diatas yaitu dengan pembelajaran yang kontekstual dan pembelajaran yang menjadikan siswa sebagai subjek didik, agar nantinya hasil belajar siswa dapat meningkat. Namun terkadang kita dapati di sekolah para guru merancang dan melaksanakan pembelajaran masih kurang relevan dengan tujuan pendidikan IPA sehingga hasil belajar yang didapatkan tidak sesuai harapan. Salah satu contohnya adalah di SD Negeri 5 Maddukkelleng kelas V. Berdasarkan informasi dari guru kelas, rata-rata hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA adalah sangat rendah. Dalam observasi peneliti di kelas V SD Negeri 5 Maddukkelleng, peneliti mendapatkan hal-hal sebagai berikut: Pertama, siswa kurang bergairah dalam mengikuti pembelajaran. Kedua, guru mengajar siswa dengan metode ceramah dan kurang memanfaatkan KIT. Ketiga, pelibatan siswa dalam pembelajaran sangat kurang dengan kata lain menjadikan siswa hanya sebagai objek didik. Dalam hal ini, peneliti menyimpulkan bahwa pokok permasalahnya terletak pada metode mengajar yang konvensional yang dipraktekkan oleh guru, sehingga menyebabkan kepasifan dan ketidak gairahan siswa dalam mengikuti pembelajaran akibatnya hasil belajar siswapun rendah.
Untuk menyelesaikan permasalahan diatas peneliti menawarkan metode mengajar yaitu metode eksperimen. Eksperimen merupakan metode mengajar yang sangat efektif, sebab membantu para siswa untuk mencari jawaban dengan usaha sendiri berdasarkan fakta (data) yang benar. Beberapa keuntungan dari pembelajaran dengan metode eksperimen antara lain: Pertama, pengetahuan yang didapatkan akan bertahan lama atau lebih mudah diingat. Kedua, hasil belajar dari metode eksperimen mempunyai efek transfer yang lebih baik dibandingkan metode yang lain. Ketiga, secara menyeluruh belajar dengan metode eksperimen dapat meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir secara bebas serta melatih keterampilan-keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah: Apakah dengan menggunakan model pembelajaran tipe eksperimen dapat meningkatkan motivasi belajar siswa kelas V SDN 5 Maddukkelleng Kabupaten Wajo dalam mata pelajaran IPA?

I.3 Hipotesis Tindakan
Dengan menggunakan model pembelajaran tipe eksperimen dapat meningkatkan motivasi belajar siswa kelas V SDN 5 Maddukkelleng Kabupaten Wajo dalam mata pelajaran IPA.
I.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa penerapan metode eksperimen dapat meningkatkan aktifitas dan hasil belajar siswa kelas V SDN 5 Maddukkelleng Kabupaten Wajo pada mata pelajaran IPA.
I.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Memperkaya wawasan tentang metode belajar eksperimen sekaligus memperbaiki mutu pendidikan.
2. Menjadi bahan acuan bagi para guru dalam usaha meningkatkan aktifitas dan hasil belajar siswa.
3. Meningkatkan mutu belajar siswa pada umumnya dan siswa kelas V SDN 5 Maddukkelleng Kabupaten Wajo pada khususnya.








BAB II
KAJIAN TEORI

II.1 Hakikat Manusia dan Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar untuk memanusiakan manusia. Oleh sebab itu, untuk menuju arah pendewasaannya manusia perlu adanya bimbingan yang optimal. Karakteristik hakikat manusia antara lain terungkap dari pengertian manusia sebagai homo sapiens, homo faber, homo homini socius, dan manusia sebagai makhluk etis dan estetis. Ada ahli yang mengatakan bahwa manusia sebagai animal educable. Artinya, pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang dapat dididik. Disamping itu, menurut Langeveld, manusia juga bisa disebut sebagai animal educandum yang artinya manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang harus dididik, dan homo educandus yang bermakna bahwa manusia merupakan makhluk yang bukan hanya harus dapat dididik tetapi juga harus dan dapat mendidik.
Deskripsi di atas mengungkapkan secara jelas bahwa ada mata rantai yang erat antara hakikat manusia dengan garapan pendidikan sebagai salah satu usaha sadar untuk lebih memanusiakan manusia. Garapan pendidikan merupakan keharusan mutlak bagi manusia. Malahan pendidikan telah dianggap sebagai salah satu hak asasi manusia yang harus dipenuhi (Ishak dkk, 2004).
II.2 Metode Eksperimen
II.2.1 Pengertian Metode Eksperimen
Metode eksperimen merupakan metode mengajar dalam penyajian atau pembahasan materinya melalui suatu percobaan atau mencobakan sesuatu serta mengamati secara proses (Winataputra, 2005). Pengertian lain metode eksperimen adalah cara penyajian pelajaran dimana siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari (Djamarah, 2006). Moedjiono & Dimyati (1991) juga mengemukakan bahwa : Metode eksperimen merupakan format interaksi belajar-mengajar yang melibatkan logika induksi untuk menyimpulkan pengamatan terhadap proses dan hasil percobaan yang dilakukan. Eksperimen yang dilakukan dalam metode eksperimen dapat dilakukan secara perorangan ataupun kelompok. Metode eksperimen dilakukan dengan kegiatan percobaan untuk membuktikan suatu pertanyaan atau masalah maupun hipotesis tertentu. Oleh karena itu, seorang guru seharusnya kreatif dalam mengelola pembelajaran.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa metode eksperimen adalah suatu cara sistematis untuk menyajikan materi pelajaran dengan melibatkan siswa secara langsung dalam kegiatan percobaan baik di dalam maupun di luar laboratorium mengenai suatu obyek permasalahan, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan pembelajaran secara optimal. Hal ini meliputi proses persiapan, mengamati, menganalisa, dan menyimpulkan hasil percobaan.
II.2.2 Keunggulan-Keunggulan Metode Eksperimen
Salah satu komponen pembelajaran yang sangat berpengaruh dalam pencapai tujuan adalah metode pembelajaran. Seorang guru harus pandai memilih metode yang baik dimana harus diselaraskan dengan materi pelajaran. Pada pembelajaran IPA tentang sifat-sifat benda cair, metode yang tepat untuk digunakan adalah metode eksperimen karena metode ini mempunyai banyak keunggulan.
Metode eksperimen mempunyai kebaikan sebagai berikut (Sagala, 2009) : (1) metode ini dapat membuat siswa lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya sendiri dari pada hanya menerima kata guru atau buku saja; (2) dapat mengembangkan sikap untuk mengadakan studi eksploratoris tentang sains dan teknologi, suatu sikap dari seorang ilmuwan; (3) metode ini didukung oleh asa-asas didaktik modern, antara lain: (a) siswa belajar dengan mengalami atau mengamati sendiri suatu proses atau kejadian; (b) siswa terhindar jauh dari verbalisme; (c) memperkaya pengalaman dengan hal-hal yang bersifat objektif dan realistis; (d) mengembangkan sikap berpikir ilmiah; (e) hasil belajar akan tahan lama dan terinternalisasi.
Selain itu, metode eksperimen juga kerap kali digunakan karena memiliki keunggulan ialah (Roestiyah, 2008) :
1. Dengan eksperimen siswa terlatih menggunakan metode ilmiah dalam menghadapi segala masalah, sehingga tidak mudah percaya pada sesuatu yang belum pasti kebenarannya, dan tidak mudah percaya pula kata orang, sebelum ia membuktikan kebenarannya.
2. Mereka lebih aktif berpikir dan berbuat; hal mana itu sangat dikehendaki oleh kegiatan belajar mengajar yang modern, dimana siswa lebih banyak aktif belajar sendiri dengan bimbingan guru.
3. Siswa dalam melaksanakan proses eksperimen di samping memperoleh ilmu pengetahuan; juga menemukan pengalaman praktis serta keterampilan dalam menggunakan alat-alat percobaan.
4. Dengan eksperimen siswa membuktikan sendiri kebenaran sesuatu teori, sehingga akan mengubah sikap mereka terhadap hal-hal yang tidak masuk akal.
Berdasarkan pendapat di atas, maka keunggulan-keunggulan metode eksperimen dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Hasil belajar akan bertahan lama karena siswa secara aktif dan langsung dalam mengumpulkan data dan informasi yang menjadi topik permasalahan kemudian membuktikannya melalui kegiatan percobaan yang disertai dengan pengamatan, menganalisa, dan memberikan kesimpulan.
2. Isi pembelajaran bersifat aktual karena siswa memperoleh kesempatan untuk membuktikan suatu teori melalui percobaan, sehingga siswa terlatih membuktikan sesuatu secara ilmiah tidak dengan perkiraan.
II.2.3 Tujuan Metode Eksperimen
Dalam proses belajar mengajar, metode eksperimen memberikan kesempatan yang besar kepada siswa untuk mengalami atau melakukan sendiri suatu percobaan. Dengan demikian, siswa akan menjadi aktif serta memberikan kebermaknaan bagi dirinya. Abimanyu dkk, 2008 mengemukakan bahwa Metode eksperimen bertujuan agar siswa dapat:
1. Menyimpulkan fakta-fakta, informasi atau data yang diperoleh;
2. Merancang, mempersiapkan, melaksanakan, dan melaporkan percobaannya;
3. Menggunakan logika berpikir induktif untuk menarik kesimpulan dari fakta, informasi atau data yang dikumpulkan melalui percobaan;
4. Berpikir sistematis, disiplin tinggi, hidup teratur dan rapi.
Selain itu, pemakaian metode eksperimen dalam kegiatan belajar-mengajar bertujuan untuk:
1. Mengajar bagaimana menarik kesimpulan dari berbagai fakta, informasi, atau data yang berhasil dikumpulkan melalui pengamatan terhadap proses eksperimen;
2. Mengajar bagaimana menarik kesimpulan dari fakta yang terdapat pada hasil eksperimen, melalui eksperimen yang sama;
3. Melatih siswa merancang, mempersiapkan, melaksanakan, dan melaporkan hasil percobaan;
4. Melatih siswa menggunakan logika induktif untuk menarik kesimpulan dari fakta, informasi, atau data yang terkumpul melalui percobaan (Moedjiono & Dimyati, 1991).
Jadi, penerapan metode eksperimen dalam pembelajaran dilakukan dengan tujuan agar siswa mempunyai keterampilan dalam melakukan uji coba terhadap suatu permasalahan. Melalui kegiatan percobaan inilah, siswa dilatih untuk menggunakan logikanya berpikir sistematis dalam membuktikan dan membuat kesimpulan terhadap obyek yang dikaji.
II.2.4 Pelaksanaan Metode Eksperimen
Pelaksanaan eksperimen dapat dilakukan dengan urutan sebagai berikut (Winataputra, 2005):
1. Persiapan alat bantu (alat eksperimen);
2. Petunjuk dan informasi tentang tugas-tugas yang harus dilaksanakan dalam eksperimen;
3. Pelaksanaan eksperimen dengan menggunakan lembaran kerja/pedoman eksperimen yang disusun secara sistematis. Sehingga siswa dalam pelaksanaannya tidak banyak mendapat kesulitan dan membuat laporan;
4. Penguatan perolehan temuan-temuan eksperimen dilakukan dengan diskusi, tanya jawab, dan atau tugas;
5. Kesimpulan.

Penerapan metode eksperimen dalam proses pembelajaran akan mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang diharapkan, jika guru memahami perannya. Sehingga, guru dituntut untuk mempunyai kemampuan-kemampuan yang mampu membimbing dan mengarahkan siswa dalam melakukan eksperimen.
Kemampuan guru yang harus diperhatikan agar eksperimen berhasil dengan baik di antaranya adalah (1) mampu membimbing siswa dari merumuskan hipotesis sampai pada pembuktian dan kesimpulan serta membuat laporan eksperimen; (2) menguasai konsep yang dieksperimen; (3) mampu mengelola kelas; (4) mampu memberikan penilaian secara proses (Winataputra dkk, 2005).
Jadi, peranan guru dalam metode eksperimen adalah sebagai fasilitator dan mediator yang membimbing dan mengarahkan siswa dari tahap ke tahapan selanjutnya dalam melakukan eksperimen, sehingga terlaksana dengan efektif. Metode eksperimen lebih menekankan kepada keaktifan siswa untuk memproses belajarnya sendiri daripada keaktifan guru dalam menyajikan isi pelajaran.
II.3 Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
II.3.1 Hakikat IPA
IPA merupakan bidang studi yang obyek kajiannya meliputi alam dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya. IPA didasarkan pula pada pendekatan empirik dengan asumsi bahwa alam raya ini dapat dipelajari, dipahami, dan dijelaskan yang tidak hanya semata-mata bergantung pada metode kausalitas tetapi melalui proses tertentu, misalnya eksperimen, observasi, dan analisis rasional.
Menurut Powler, IPA merupakan ilmu yang berhubungan dengan gejala-gejala alam dan kebendaan yang sistematis yang tersusun secara teratur, berlaku umum yang berupa kumpulan dari hasil observasi dan eksperimen. Selanjutnya, Winaputra juga mengemukakan bahwa IPA tidak hanya merupakan kumpulan pengetahuan benda atau makhluk hidup, tetapi merupakan cara kerja, cara berpikir, dan cara memecahkan masalah.
Jadi IPA tidak hanya menekankan pada pengetahuan tentang konsep-konsep, teori-teori, dan hukum-hukum IPA saja, tetapi lebih dari itu IPA menekankan pada sikap dan keterampilan ilmiah. Sikap dan keterampilan ilmiah yang dimaksud adalah bagaimana menggunakan otak untuk berpikir yang sistematis dalam memahami alam dan isinya dan terampil dalam melakukan kegiatan ilmiah seperti eksperimen.
IPA hakikatnya merupakan suatu produk, proses, dan aplikasi. Sebagai produk, IPA merupakan sekumpulan pengetahuan dan sekumpulan konsep serta bagan konsep. Sebagai suatu proses, IPA merupakan proses yang dipergunakan untuk mempelajari obyek studi, menemukan, dan mengembangkan produk-produk IPA. Sebagai aplikasi, teori-teori IPA akan melahirkan teknologi yang dapat memberi kemudahan bagi kehidupan manusia (Prihantoro, 2008). Selain itu, IPA secara garis besarnya memiliki tiga komponen, yaitu: (1) proses ilmiah, misalnya mengamati, mengklasifikasi, memprediksi, merancang, dan melaksanakan eksperimen; (2) produk ilmiah, misalnya prinsip, konsep, hukum, dan teori; (3) sikap ilmiah, misalnya ingin tahu, hati-hati, obyektif, dan jujur (Bundu & Kasim, 2007).
Berdasarkan pendapat di atas, hakikat IPA diuraikan secara terperinci, yaitu sebagai berikut:
1. IPA sebagai proses ilmiah adalah sejumlah keterampilan yang digunakan untuk mengkaji alam sekitar dan fenomena-fenomena yang terjadi di dalamnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru ataupun untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Keterampilan-keterampilan yang dimaksud adalah mengamati, klasifikasi, merumuskan hipotesis, dan melakukan eksperimen.
2. IPA sebagai produk ilmiah merupakan suatu disiplin ilmu yang berisi fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum, dan teori-teori yang dapat digunakan sebagai pedoman atau petunjuk dalam mempelajari, memahami, dan menjelaskan alam sekitar dan gejala-gejala yang terjadi di dalamnya.
3. IPA sebagai sikap ilmiah terfokus pada sikap yang bertujuan untuk membantu manusia dalam mencari solusi terhadap suatu masalah serta mengarahkan pemikiran manusia akan pentingnya alam dan isinya bagi kehidupan manusia.
4. IPA sebagai aplikasi merupakan lanjutan dari sikap ilmiah yang tertuju pada upaya untuk melaksanakan produk IPA (fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum, dan teori-teori) sehingga melahirkan teknologi yang dapat memberi kemudahan bagi kehidupan manusia.
II.3.2 Pembelajaran IPA
Proses pembelajaran IPA di sekolah dasar hendaknya memperhatikan hakikat IPA itu sendiri. Prihantoro, 2008 mengemukakan bahwa nilai-nilai yang dapat ditanamkan dalam pembelajaran IPA antara lain:
1. Kecakapan bekerja dan berpikir secara teratur dan sistematis menurut langkah-langkah metode ilmiah;
2. Keterampilan dan kecakapan dalam mengadakan pengamatan, mempergunakan alat eksperimen untuk memecahkan masalah;
3. Memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam memecahkan masalah baik dalam kaitannya dengan pembelajaran IPA maupun dalam kehidupan.
Oleh karena itu, seorang guru hendaknya melaksanakan pembelajaran IPA di sekolah dasar dengan merumuskan tujuan pembelajaran yang memuat hakikat IPA serta dengan metode yang memungkinkan tercapainya tujuan IPA. Salah satunya adalah metode eksperimen, karena dengan metode ini siswa akan dilatih untuk melakukan kegiatan ilmiah, berpikir sistematis dan rasional, dan membuktikan sesuatu yang selama ini menjadi pertanyaan di dalam kehidupan.
II.4 Hakikat Hasil Belajar dan Aktivitas Siswa Dalam Pembelajaran IPA
II.4.1 Hakikat Hasil Belajar
Kegiatan apapun yang kita lakukan selalu kita harapkan hasil dari pekerjaan tersebut. Entah itu hasilnya baik ataupun tidak. Hal tersebut sama halnya dengan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di instansi pendidikan. Seorang guru mengajar siswa dengan harapan agar siswa dapat berhasil begitu pula dengan siswa yang apabila belajar dengan sungguh-sungguh akan memberikan dampak pada dirinya sendiri. Seseorang dikatakan belajar jika terjadi perubahan dalam dirinya yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dalam hal ini, hasil belajar adalah tingkat perolehan dan perubahan kemampuan yang bersifat tetap meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor yang dicapai peserta didik setelah melakukan aktivitas mental dan psikis terhadap suatu obyek kajian. Hasil belajar dapat diketahui dengan menggunakan alat pengukuran, yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan (Sudjana, 1999). Hal ini juga dapat diukur dari angka-angka yang diperoleh siswa dan dapat pula dilihat dari perubahan sikap dan keterampilan.
Hasil belajar dapat dilihat dari hasil nilai ulangan harian (formatif), nilai ulangan tengah semester (subsumatif), dan nilai ulangan semester (sumatif). Dalam penelitian tindakan kelas ini, yang dimaksud hasil belajar siswa adalah nilai ulangan harian yang diperoleh siswa dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang dilakukan setiap selesai proses pembelajaran. Ulangan harian ini dilakukan minimal tiga kali dalam setiap semester dan terdiri dari sejumlah soal yang harus dijawab peserta didik (Kunandar, 2010).
II.4.2 Hakikat Aktivitas Siswa
Aktivitas siswa adalah keterlibatan siswa dalam bentuk sikap, pikiran, perhatian, dan aktivitas dalam kegiatan pembelajaran guna menunjang keberhasilan proses belajar mengajar dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut. Peningkatan aktifitas siswa, yaitu meningkatnya jumlah siswa yang terlibat aktif belajar, meningkatnya jumlah siswa yang bertanya dan menjawab, meningkatnya jumlah siswa yang saling berinteraksi membahas materi pembelajaran.
Indikator aktivitas siswa dapat dilihat dari mayoritas siswa beraktifitas dalam pembelajaran, aktivitas pembelajaran didominasi oleh kegiatan siswa, dan mayoritas siswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan guru (Kunandar, 2010).
II.5 Penerapan Metode Eksperimen dalam Pembelajaran IPA
Tabel 1 : kegiatan pembelajaran dengan metode eksperimen

No

Tahap-tahap metode eksperimen

Kegiatan pembelajaran
1

a. Persiapan
alat bantu





· Guru mengorganisir siswa dalam bentuk kelompok
· Guru menginstruksikan siswa untuk
mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan pada pembelajaran


b. Petunjuk
dan informasi
tentang tugas-tugas yang akan
dilakukan


· Guru memberikan petunjuk dan informasi tentang tugas-tugas yang akan dilakukan pada pokok bahasan sistem koloid
· Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk mempertanyakan sesuatu hal yang belum dimengerti
· Siswa melaksanakan percobaan berdasarkan petunjuk dan informasi yang telah diberikan



c. Penguatan perolehan temuan-temuan eksperimen dengan diskusi


· Siswa mempresentasikan temuan-temuan dari eksperimen yang telah dilakukan
· Siswa mendiskusikan temuan-temuan mereka secara berkelompok
· Guru berperan sebagai moderator dan pengendali diskusi
· Guru mengarahkan dan membimbing siswa agar pendapat-pendapat mereka tidak menyimpang dari yang seharusnya


d. Eksperimen disusun secara
sistematis


· Guru bersama siswa menyusun temuan-temuan mereka secara sistematis


e. Kesimpulan

· Guru bersama siswa menyimpulkan hasil pembelajaran

II.6 Bagan Alir
Mulai
Persiapan
Pemberian petunjuk dan informasi tentang tugas-tugas yang akan dilakukan

Penguatan perolehan temuan-temuan dengan diskusi
Hasil
(Aktivitas dan hasil belajar meningkat)
Selesai














Gambar 3. Bagan Alir Penelitian
BAB III
METODE PENELITIAN

III.1 Setting Penelitian
III.1.1 Tempat Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini akan dilaksanakan dengan mengambil lokasi atau tempat di SD Negeri 5 Maddukkelleng Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Pemilihan sekolah tersebut dilatarbelakangi oleh : (a) lokasi sekolah tersebut dekat dari tempat tinggal peneliti dan mudah di jangkau; (b) sudah terjalin komunikasi yang harmonis dengan sebagian besar guru-guru dan pegawai di sekolah tersebut.
Mata pelajaran yang akan digunakan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah IPA (Fisika) tentang Cahaya dan Sifat-sifatnya serta Struktur Bumi dan Matahari.
III.1.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan selama dua bulan dan dimulai sejak tanggal 9 Januari sampai tanggal 9 Februari 2011 tahun ajaran 2010/2011 pada semester genap. Penelitian ini akan dilakukan sebanyak tiga siklus untuk melihat peningkatan hasil belajar dan aktivitas siswa dalam mengikuti mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam.
III.2 Persiapan PTK
Sebelum PTK dilaksanakan, dibuat berbagai input instrumental yang akan digunakan berupa rencana pembelajaran yang akan dijadikan PTK, yaitu kompetensi dasar (KD). Selain itu juga dibuat perangkat pembelajaran berupa lembar kerja siswa, lembar pengamatan dan lembar evaluasi.
III.3 Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas V SD Negeri 5 Maddukkelleng pada semester genap tahun ajaran 2010/2011. Jumlah siswa pada kelas tersebut adalah 18 orang. Alasan pemilihan kelas ini adalah;
1. Kurangnya penerapan metode pembelajaran oleh guru kelas, yang lebih dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran,
2. Adanya dukungan dari kepala sekolah dan guru setempat untuk melaksanakan kegiatan penelitian di kelas yang bersangkutan.
III.4 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Siswa : untuk mendapatkan data tentang hasil belajar dan aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar
2. Guru : untuk melihat tingkat keberhasilan implementasi pembelajaran metode eksperimen dan hasil belajar serta aktivitas siswa dalam proses pembelajaran.
3. Teman sejawat dan kolaborator: sebagai sumber data untuk melihat implementasi PTK secara komprehensif, baik dari sisi siswa maupun guru.
III.5 Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian tindakan ini adalah:
1. Observasi
Observasi adalah suatu teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang kegiatan guru dan siswa dalam proses pembelajaran yang menggunakan metode eksperimen. Observasi tersebut dilakukan oleh guru atau teman sejawat.

2. Wawancara
Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengetahui pendapat observer (guru atau teman sejawat) dan siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar yang menggunakan metode eksperimen sekaligus sebagai data untuk memperkuat data tentang ketercapaian aktivitas belajar.
3. Dokumentasi
Dokumentasi bertujuan untuk memperkuat data dari lembar observasi..
4. Tes
Tes adalah suatu teknik yang digunakan untuk mendapatkan data tentang hasil belajar siswa.
III.6 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kuantitatif dan kualitatif. Data yang dianalisis adalah terdiri atas aktivitas dan hasil belajar siswa.
III.6.1 Analisis Kuantitatif
a.
=
Nilai rata-rata siswa sebelum dilakukan tindakan dan setelah dilakukan tindakan siklus I, siklus II, dan siklus III dihitung.



Keterangan: = rata-rata
Σx = jumlah nilai seluruh siswa
N = banyaknya siswa

b. Hasil belajar kognitif siswa dihitung, dengan menggunakan rumus:



c. Hasil belajar afektif dan psikomotorik dihitung, dengan menggunakan rumus:


d.
% =
Ketuntasan belajar siswa dihitung, dengan menggunakan rumus:


Keterangan: % = presentase
n = jumlah skor yang diperoleh
N = jumlah skor maksimal
III.6.2 Analisis Kualitatif
Pada analisis kualitatif ini, data yang diperoleh dari lembaran observasi dianalisis dengan melihat perubahan setiap sikap siswa pada setiap siklus, baik dari segi perhatian, kehadiran, keaktifan, dan kesungguhan siswa dalam proses pembelajaran. Sedangkan lembar observasi dari hasil belajar siswa terdiri dari nilai rata-rata dan persentase nilai yang diperoleh setiap siswa dari tes pada akhir setiap siklus. Kita menganalisis dari setiap siklus, apakah ada peningkatan atau tidak? Apakah peneilitian tindakan kelas ini berhasil atau tidak?
III.7 Indikator Kinerja
1. Siswa
a. Tes : rata-rata nilai ulangan harian
b. Observasi : keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar
2. Guru
a. Dokumentasi : kehadiran siswa
b. Observasi : hasil observasi
III.8 Prosedur Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini akan dilakukan dalam tiga siklus. Siklus I dengan memberikan materi cahaya dan sifat-sifatnya secara menyeluruh, siklus II memberikan materi tentang struktur bumi dan matahari, dan siklus III untuk menyempurnakan siklus I dan II. Tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang ingin dicapai seperti yang telah dirancang dalam faktor yang akan diselidiki. Prosedur pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini terdiri dari empat tahap dalam setiap siklusnya yaitu Perencanaan (Planning), Tindakan (Action), Pengamatan (Observation), dan Refleksi (Reflection). Kekurangan pada siklus pertama dan kedua akan diperbaiki pada siklus ketiga. Adapun tahap-tahap tiap siklus adalah sebagai berikut:
III.8.1 Siklus I
A. Perencanaan (Planning)
1. Menyusun perangkat pembelajaran, dalam hal ini adalah rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
2. Mempersiapkan langkah-langkah pembelajaran yang menggunakan metode eksperimen.
3. Melakukan diskusi balikan, untuk mengetahui kelemahan-kelemahan selama pembelajaran yang nantinya akan dijadikan sebagai bahan masukan pada pelaksanaan tindakan berikutnya.
B. Tindakan (Action)
Adapun tindakan yang dilakukan sebagai berikut :
Pertemuan pertama
· Kegiatan Awal
1. Mengecek kehadiran siswa.
2. Memberikan motivasi dan apersepsi.
3. Menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
· Kegiatan Inti
1. Guru mengorganisir siswa dalam bentuk kelompok.
2. Guru menginstruksikan siswa untuk mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan pada pembelajaran.
3. Guru memberikan petunjuk dan informasi tentang cahaya.
4. Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk mempertanyakan sesuatu hal yang belum dimengerti.
5. Siswa melaksanakan percobaan sesuai petunjuk dan bimbingan guru.
6. Siswa mendiskusikan dan mempresentasikan hasil percobaan mereka.
7. Guru berperan sebagai moderator dan pengendali diskusi.
8. Guru mengarahkan dan membimbing siswa agar pendapat-pendapat mereka tidak menyimpang dari yang seharusnya.
9. Guru bersama siswa menyusun temuan-temuan mereka secara sistematis.
· Kegiatan Akhir
1. Guru dan siswa menyimpulkan hasil pembelajaran.
2. Evaluasi hasil belajar.

Pertemuan kedua
· Kegiatan Awal
1. Mengecek kehadiran siswa.
2. Memberikan motivasi dan apersepsi.
3. Menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
· Kegiatan Inti
1. Guru mengorganisir siswa dalam bentuk kelompok.
2. Guru menginstruksikan siswa untuk mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan pada pembelajaran.
3. Guru memberikan petunjuk dan informasi tentang sifat-sifat cahaya.
4. Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk mempertanyakan sesuatu hal yang belum dimengerti.
5. Siswa melaksanakan percobaan untuk mengamati sifat-sifat cahaya.
6. Siswa mendiskusikan dan mempresentasikan hasil percobaan mereka.
7. Guru berperan sebagai moderator dan pengendali diskusi.
8. Guru mengarahkan dan membimbing siswa agar pendapat-pendapat mereka tidak menyimpang dari yang seharusnya.
9. Guru bersama Siswa menyusun temuan-temuan mereka secara sistematis.
· Kegiatan Akhir
1. Guru dan siswa menyimpulkan hasil pembelajaran.
2. Evaluasi hasil belajar.


C. Pengamatan (Observation)
Selama pelaksanaan tindakan pembelajaran dilaksanakan pencatatan dengan menggunakan format observasi. Adapun hal-hal yang dicatat selama berlangsungnya kegiatan observasi adalah kegiatan guru dan siswa dalam pembelajaran.
D. Refleksi (Reflection)
Rangkaian kegiatan perencanaan, tindakan, dan observasi yang telah dilakukan maka peneliti mengadakan refleksi tentang pelaksanaan tindakan yang bertujuan untuk mengetahui hasil, dan masukan untuk perencanaan dan pelaksanaan tindakan berikutnya pada siklus II
II.8.2 Siklus II
A. Perencanaan (Planning)
Perencanaan ulang disusun berdasarkan kesimpulan dan perbaikan-perbaikan yang dibutuhkan dari siklus I
B. Tindakan (Action)
Tindakan yang dilakukan sebagai berikut:
Pertemuan pertama
· Kegiatan Awal
1. Mengecek kehadiran siswa.
2. Memberikan motivasi dan apersepsi.
3. Menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
· Kegiatan Inti
1. Guru mengorganisir siswa dalam bentuk kelompok.
2. Guru menginstruksikan siswa untuk mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan pada pembelajaran.
3. Guru memberikan petunjuk dan informasi tentang struktur tanah dan batuan serta jenis-jenisnya.
4. Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk mempertanyakan sesuatu hal yang belum dimengerti.
5. Siswa melaksanakan percobaan berdasarkan petunjuk dan informasi yang telah diberikan.
6. Siswa mendiskusikan dan mempresentasikan hasil percobaan mereka
7. Guru berperan sebagai moderator dan pengendali diskusi.
8. Guru mengarahkan dan membimbing siswa agar pendapat-pendapat mereka tidak menyimpang dari yang seharusnya.
9. Guru bersama Siswa menyusun temuan-temuan mereka secara sistematis.
· Kegiatan Akhir
1. Guru dan siswa menyimpulkan hasil pembelajaran.
2. Evaluasi hasil belajar.
Pertemuan kedua
· Kegiatan Awal
1. Mengecek kehadiran siswa.
2. Memberikan motivasi dan apersepsi.
3. Menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
· Kegiatan Inti
1. Guru mengorganisir siswa dalam bentuk kelompok.
2. Guru menginstruksikan siswa untuk mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan pada pembelajaran.
3. Guru memberikan petunjuk dan informasi tentang jenis batuan dan pembentukannya.
4. Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk mempertanyakan sesuatu hal yang belum dimengerti.
5. Siswa melaksanakan percobaan di halaman sekolah tentang jenis-jenis batuan berdasarkan warna, kekerasan, dan permukaan batuan.
6. Siswa mempresentasikan temuan-temuan dari eksperimen yang telah dilakukan.
7. Siswa mendiskusikan temuan-temuan mereka secara berkelompok.
8. Guru berperan sebagai moderator dan pengendali diskusi.
9. Guru mengarahkan dan membimbing siswa agar pendapat-pendapat mereka tidak menyimpang dari yang seharusnya.
10. Guru bersama Siswa menyusun temuan-temuan mereka secara sistematis.
· Kegiatan Akhir
1. Guru dan siswa menyimpulkan hasil pembelajaran.
2. Evaluasi hasil.
C. Pengamatan (Observation)
Selama pelaksanaan tindakan pembelajaran dilaksanakan pencatatan dengan menggunakan format observasi dan juga dambil dari hasil tes siswa.
D. Refleksi (Reflection)
Hasil yang diperoleh pada tahap observasi dikumpulkan, dianalisis dan dievaluasi pada tahap refleksi ini. Hasil analisis dari tahap ini digunakan untuk mengambil kesimpulan apakah pembelajaran dengan menggunakan metode eksperimen sudah sesuai dengan tujuan yang diinginkan atau belum.
II.8.3 Siklus III
A. Perencanaan (Planning) Ulang
Perencanaan ulang disusun berdasarkan kesimpulan dan perbaikan-perbaikan yang dibutuhkan dari siklus I.
B. Tindakan (Action)
Tindakan yang dilakukan sebagai berikut :
Pertemuan pertama
· Kegiatan Awal
1. Mengecek kehadiran siswa.
2. Memberikan motivasi dan apersepsi.
3. Menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
· Kegiatan Inti
1. Guru mengorganisir siswa dalam bentuk kelompok.
2. Guru menginstruksikan siswa untuk mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan pada pembelajaran.
3. Guru memberikan petunjuk dan informasi tentang struktur tanah dan batuan serta jenis-jenisnya.
4. Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk mempertanyakan sesuatu hal yang belum dimengerti.
5. Siswa melaksanakan percobaan berdasarkan petunjuk dan informasi yang telah diberikan.
6. Siswa mendiskusikan dan mempresentasikan hasil percobaan mereka.
7. Guru berperan sebagai moderator dan pengendali diskusi.
8. Guru mengarahkan dan membimbing siswa agar pendapat-pendapat mereka tidak menyimpang dari yang seharusnya.
9. Guru bersama Siswa menyusun temuan-temuan mereka secara sistematis.
· Kegiatan Akhir
1. Guru dan siswa menyimpulkan hasil pembelajaran.
2. Evaluasi hasil belajar
Pertemuan kedua
· Kegiatan Awal
1. Mengecek kehadiran siswa.
2. Memberikan motivasi dan apersepsi.
3. Menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
· Kegiatan Inti
1. Guru mengorganisir siswa dalam bentuk kelompok.
2. Guru menginstruksikan siswa untuk mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan pada pembelajaran.
3. Guru memberikan petunjuk dan informasi tentang materi yang akan diajarkan.
4. Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk mempertanyakan sesuatu hal yang belum dimengerti.
5. Siswa melaksanakan percobaan sehubungan dengan materi yang diberikan oleh guru.
6. Siswa mempresentasikan temuan-temuan dari eksperimen yang telah dilakukan.
7. Siswa mendiskusikan temuan-temuan mereka secara berkelompok.
8. Guru berperan sebagai moderator dan pengendali diskusi.
9. Guru mengarahkan dan membimbing siswa agar pendapat-pendapat mereka tidak menyimpang dari yang seharusnya.
10. Guru bersama Siswa menyusun temuan-temuan mereka secara sistematis.
· Kegiatan Akhir
1. Guru dan siswa menyimpulkan hasil pembelajaran.
2. Evaluasi hasil.
C. Pengamatan (Observation)
Selama pelaksanaan tindakan pembelajaran dilaksanakan pencatatan dengan menggunakan format observasi dan juga dambil dari hasil tes siswa.
D. Refleksi (Reflection)
Hasil yang diperoleh pada tahap observasi dikumpulkan, dianalisis dan dievaluasi pada tahap refleksi ini. Hasil analisis dari tahap ini digunakan untuk mengambil kesimpulan apakah pembelajaran dengan menggunakan metode eksperimen sudah sesuai dengan tujuan yang diinginkan atau belum.
III.9 Indikator keberhasilan
Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah indikator proses dan hasil dalam pembelajaran. Dari segi hasil ditandai dengan pemerolehan skor dari evaluasi akhir pembelajaran di setiap siklus.
Kriteria yang digunakan untuk mengungkapkan kemampuan hasil belajar siswa adalah sesuai dengan kriteria standar sebagai berikut:


Tabel 2 kriteria hasil belajar siswa
No

Tingkat Penguasaan

Kategori
1.
2.
3.
4.
5.

90%-100%
80%-89%
65%-79%
55%-64%
0%-54%

Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah

Berdasarkan standar di atas, maka peneliti memilih standar minimal keberhasilan penelitian yakni bila 75 % dari seluruh jumlah siswa mendapatkan nilai ≥ 80.

Metode Eksperimen

Menurut KBBI eksperimen adalah: percobaan yang bersistem dan berencana (untuk membuktikan kebenaran suatu teori dsb). Metode eksperimen adalah metode pemberian kesempatan kepada anak didik perorangan atau kelompok, untuk dilatih melakukan suatu proses atau percobaan (Syaiful Bahri Djamarah, 2000). Menurut Roestiyah (2001:80), metode eksperimen adalah suatu cara mengajar, di mana siswa melakukan suatu percobaan tentang sesuatu hal, mengamati prosesnya serta menuliskan hasil percobaannya, kemudian hasil pengamatan itu disampaikan ke kelas dan dievaluasi oleh guru.

Dari defenisi di atas dapa disimpulkan bahwa metode eksperimen merupakan metode pembelajaran yang
dalam pembahasan dan penyajian materinya dilakukan melalui percobaan. Melalui metode ini guru atau siswa mencoba mengerjakan sesuatu serta mengamati proses dan hasil proses itu dengan menggunakan alat-alat praktikum agar siswa mendapat kesempatan untuk mengalami sendiri atau melakukan sendiri.

Setiap kegiatan eksperimen harus dilakukan secara sistemik dan sistematis dimulai dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan, kajian hasil, dan laporan. Metode eksperimen dapat dilakukan secara perorangan atau kelompok di dalam kelas, di luar kelas, atau di laboratorium. Dalam pelaksanaannya, metode eksperimen biasanya digunakan secara bersamaan dengan metode demonstrasi.

Karakteristik metode eksperimen

Menuntut adanya peralatan/alat bantu percobaan
Mengutamakan aktivitas siswa
Guru cenderung lebih banyak sebagai pembimbing dan fasilisator
Siswa memperoleh kemampuan sikap ilmiah


Kemampuan yang harus dimiliki guru dan siswa agar metode eksperimen berhasil dengan baik.
Kemampuan guru:

Mampu mengelola kelas dengan baik
Mampu menciptakan kondisi pembelajaran eksperimen secara efektif
Mampu membimbing siswa mulai dari perencanaan hingga laporan
Menguasai konsep yang dieksperimenkan
Mampu memberikan penilaian proses.


Kemampuan siswa:

Memiliki perhatian, minat belajar , dan motivasi
Mampu melakukan eksperimen
Memiliki sikap tekun dan ketelitian yang tinggi
Mampu membuat laporan eksperimen


Keunggulan metode eksperimen:

Mendorong rasa keingintahuan siswa
Siswa terbiasa bekerja secara mandiri atau kelompok
Siswa lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya
Membina siswa untuk membuat terobosan-terobosan dengan penemuan baru
Melatih siswa bekerja ilmiah.


Kelemahan metode eksperimen:

Lebih sesuai untuk mata pelajaran sains
Memerlukan peralatan/bahan dan biaya
Menuntut ketelitian, keuletan dan ketabahan
Setiap percobaan tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan
Memerlukan waktu yang relatif lama
Hanya sedikit sekolah yang memiliki fasilitas eksperimen
Banyak guru dan siswa yang belum terbiasa dengan metode ini

Sabtu, 19 November 2011

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN KONTEKTUAL DENGAN PENDEKATAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN LITERASI SAINS

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN KONTEKTUAL DENGAN PENDEKATAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN LITERASI SAINS



oleh
Nyoman Subratha
Jurusan Pendidikan Fisika
Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja


ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah menguji perbedaan efektivitas antara pembelajaran kontekstual dengan pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) dan pembelajaran konvensional dalam meningkatkan hasil belajar dan literasi sains siswa. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas 3 SLTP Negeri 2 Singaraja tahun ajaran 2002/2003. Data dikumpulkan dengan metode tes, observasi, dan wawancara. Hasil analisis data melalui statistik deskriptif dan statistik infrensial menunjukan bahwa dalam kelas dengan pembelajaran kontektual dengan pendekatan STM, ketuntasan hasil belajar dan literasi sains siswa tercapai, sedangkan dalam kelas dengan pembelajaran konvensional, ketuntasan kelas belum tercapai. Hasil uji statistik infrensial menunjukan bahwa pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM lebih efektif dalam meningkatkan hasil belajar dan literasi sains siswa daripada pembelajaran konvensional.

Kata kunci: Pembelajaran Kontektual, Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM), Peningkatan Prestasi belajar, Literasi sains siswa.


ABSTRACT

The aims of this research was to testify the differences between the effectiveness of contextual learning with the science approach of society technology to the conventional learning in promoting the student’s achievement and student science literacy. The subject of this research were class 3 of SLTP 2 Negeri Singaraja in the academic year 2002/2003. Data were gathered with the test method, observation and interview.The result of data analysis through the descriptive statistic and inferential statistic show that: the study resut and student’s science literacy is higher in class with the contextual learning wth the science approach of society technology, but in class with the conventional learning the subject mastery obtained could not be. The result of inferential statistic show that contextual learning with science approach of society technology is more effective to increase the achievement and student science literacy than the conventional learning.

Key word: Contextual learning, The science approach of society technology, Increasing the achievement of study, science literacy of student.:



1. Pendahuluan
Sains (IPA) dan teknologi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sains dan teknologi mempunyai peran yang sangat besar dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Menurut Prabowo (2000:3), fisika merupakan bagian dari sains yang mempunyai peran strategis dalam pengembangan sains dan teknologi. Pengembangan fisika tidak akan lepas dari peran pendidikan fisika. Oleh karena itu, upaya pengembangan sains dan teknologi harus disertai pula dengan usaha peningkatan mutu pendidikan fisika. Di sisi lain, dampak negatif dari perkembangan sains dan teknologi juga selalu membayangi kehidupan manusia. Oleh karena itu, literasi sains dan teknologi (Scientific and technology literacy) sudah menjadi tuntutan yang tidak dapat ditawar lagi agar kita mampu memanfaatkan sains dan teknologi untuk kesejahteraan dan keselamatan umat manusia (Poedjiadi, 1993).
Dalam aspek kualitas, pendidikan di Indonesia memprihatinkan. Hal ini tercermin antara lain dari ukuran Humen Development Index (HDI) yang menunjukan rendahnya kualitas SDM Indonesia yang berada pada tingkat memprihatinkan. Hal ini tercermin, antara lain, dari peringkat 109 dari 174 negara yang diukur (Depdiknas, 2001). Rata-rata NEM nasional tingkat SLTP dan SLTA untuk semua mata pelajaran yang “diebtanaskan” (kecuali PPKn) dalam empat tahun terakhir selalu dibawah 6,0 (Depdiknas, 2002). Selanjutnya, terdapat petunjuk yang menyokong bahwa kebanyakan guru mengajar dengan tidak memperhatikan kemampuan berpikir siswa atau tidak mengajar secara bermakna (Wardani, 1998). Dengan kata lain, guru tidak memberikan kesempatan kepada siswanya untuk mengkontruksi pengetahuan IPA nya yang akan menjadi milik siswa sendiri.
Menurut Poedjiadi (dalam Sadia, 1998: 2), pendidikan Sains (IPA) di sekolah perlu direformasi dan diarahkan menuju penciptaan masyarakat yang memiliki literasi sains dan teknologi. Tujuan pendidikan sains di sekolah SLTP tidak semata-mata menyiapkan peserta didik untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, tetapi lebih daripada itu membentuk individu siswa yang memiliki literasi sains dan teknologi. Siswa yang memiliki literasi sains dan teknologi adalah siswa yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang fakta, konsep, prinsip, dan teori sains serta kemampuan mengaplikasikannya, mampu mengambil keputusan berdasarkan konsep, prinsip, dan teori-teori ilmiah; mampu memilah dan memilih teknologi serta mengantisipasi dampak negatifnya, dan mampu mengembangkan karyanya di masa depan.
Dalam pengajaran IPA, proses pengembangan konsep-konsep dan gagasan-gagasan IPA harus bermula dari dunia nyata. Dunia nyata ini tidak berarti konkret secara fisik dan kasat mata, namun juga termasuk yang dapat dibayangkan oleh pikiran anak (Heuvel-Panhuizen, 1998). Jadi, dunia nyata ini juga mengandung arti sesuatu yang masih kontekstual dengan apa yang ada dalam pikiran anak. Atau dengan pengetahuan awal siswa. Pembelajaran kontektual ini memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anngota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja.
Karyadi (1996) berpendapat bahwa dilihat dari fungsi dan tujuan IPA yang terdapat dalam Buku Landasan, Program, dan Pengembangan dalam Buku tentang Garis-garis Besar Program Pengajaran IPA di Sekolah Dasar dan SLTP, siswa lulusan Pendidikan Dasar “seharusnya sudah melek dalam sains dan teknologi”. Namun, dengan mengacu kepada hasil penelitian Tim Balitbang Depdikbud (1996) tentang Literasi Sains dan Teknologi, disimpulkan masih perlu dilakukan usaha-usaha atau pendekatan belajar yang menunjang tercapainya tujuan pembelajaran IPA di SLTP tersebut. Menurut Yager (Sadia, 1998:4), pengajaran sains di sekolah hendaknya tidak semata-mata diarahkan untuk menyiapkan anak didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, yang lebih penting adalah menyiapkan anak didik untuk (1) mampu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan konsep-konsep sains yang telah mereka pelajari, (2) mampu mengambil keputusan yang tepat dengan menggunakan konsep-konsep ilmiah, (3) mampu mengantisipasi dampak-dampak negatif sains dan teknologi, dan (4) mampu berpikir antisipatif ke masa depan.
Salah satu upaya untuk mendukung usaha pemerintah untuk meningkatkan penguasaan siswa atas konsep-konsep IPA serta menumbuhkembangkan literasi sains dan teknologi siswa, adalah pengajaran IPA di sekolah hendaknya selalu dikaitkan dan disepadankan (link and match) dengan isu-isu sosial di lingkungan siswa, serta bersifat kontekstual dengan pengetahuan awal siswa. Salah satu pendekatan yang dapat memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut di atas adalah pembelajaran dengan Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) serta pembelajaran hendaknya kontektual dengan pengalaman dan pengetahuan awal siswa. Pendekatan STM dalam pembelajaran IPA merupakan perekat yang mempersatukan sains, teknologi, dan masyarakat (Rustum R., 1983, dalam Sadia, 1998: 15) dan pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang terjadi dalam hubungan yang erat dengan pengalaman sesungguhnya (Nur, 2001:2).
Ditinjau dari aspek bahan kajian, kegiatan guru, dan kegiatan murid, pengajaran sains dengan pendekatan sains teknologi masyarakat mempunyai keunggulan dalam meningkatkan prestasi belajar siswa serta literasi sains siswa dibandingkan dengan pembelajaran dengan pendekatan tradisional (Hadiat, dalam Winarno, 1999: 7). Suatu pokok bahasan atau bahan kajian bisa disajikan dengan pendekatan STM dengansyarat (1) ada isu sosial dan teknologinya, dan (2) isu sosial dan teknologi pokok bahasan atau bahan kajian tersebut ada di sekitar kehidupan siswa.
Dalam penelitian ini, diambil pokok bahasan hukum ohm dan hambatan listrik. Pokok bahasan ini diambil karena (1) pokok bahasan ini mengandung isu sosial dan teknologi, (2) isu sosial dan teknologi yang terkait dengan pokok bahasan ini ada di linhkungan siswa, dan (3) pokok bahasan ini menurut kurikulum SLTP tahun 1994, ada pada kelas III semester 1, sehingga sesuai dengan jadwal pelaksanaan penelitian yang direncanakan.
Yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana hasil belajar dan literai sains siswa SLTP Negeri 2 Singaraja untuk pokok bahsan hukum Ohm dan hambatan listrik melalui pembelajaran kontektual dengan pendekatan STM; (2) bagaimana efektivitas pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM dalam meningkatkan hasil belajar dan literasi sain siswa SLTP; dan (3) kendala-kendala apa yang dialami guru IPA-Fisika SLTP Negeri 2 dalam mengimplementasikan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM?
Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan hasil belajar dan literasi sains siswa SLTP Negeri 2 Singaraja untuk pokok bahsan hukum Ohm dan hambatan litrik, (2) menguji efektivitas pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM dalam meningkatkan hasil belajar dan literasi sains siswa SLTP Negeri 2 Singaraja, dan (3) mengidentifikasi dan menganalisis kendala-kendala yang dialami guru IPA (Fisika) SLTP dalam mengimplementasikan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah (1) memberi kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya pada pengembangan strategi dan metode pembelajaran IPA-Fisika di SLTP. Di samping itu, temuan-temuan tentang keunggulan pembelajaran kontektual dengan pendekatan STM dalam meningkatkan prestasi belajar dan literasi sains, serta kendala-kendala implementasinya, akan sangat bermanfaat bagi para guru IPA-Fisika sebagai praktisi di lapangan.

2. Metode Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas III SLTP Negeri 2 Singaraja tahun ajaran 2002/2003. Penentuan subjek penelitian ini dilakukan secara random sampling. Objek penelitian ini adalah pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM dalam meningkatkan hasil belajar dan literasi sains siswa.
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan menggunakan rancangan “pretest-posttest control group design”. Pembelajaran yang akan diuji dan dikembangkan dalam penelitian ini adalah pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM.
Variabel bebas atau variabel perlakuan (treatment) penelitian ini adalah pembelajaran kontekstual dengan pendekatan Sains Teknologi Masyarakat yang dikenakan pada kelas eksperimen, dan pembelajaran konvensional yang dikenakan pada kelas kontrol. Variabel ini merupakan variabel yang akan diukur efeknya melalui penelitian quasi eksperimen ini. Variabel tak bebasnya adalah prestasi belajar siswa dalam materi ajar hukum ohm dan hambatan listrik, dan perubahan literasi sains siswa. Di samping itu, dalam penelitian ini juga akan diungkap kendala-kendala implementasi pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM dalam meningkatkan prestasi belajar dan literasi sains siswa.
Dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik pengumpulan data penelitian, yaitu: (1) hasil belajar dan literasi sains siswa dikumpulkan menggunakan tes (post-test), (2) efektivitas pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM dikumpulkan dengan tes (pre-test dan pos-test), dan (3) kendala-kendala yang dialami guru fisika (IPA) dalam mengimplementasikan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM dikumpulkan dengan teknik observasi terstuktur dan pemberian angket.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan statistik infrensial. Untuk mendiskripsikan hasil belajar dan literasi sains siswa digunakan ketuntasan individual dan klasikal terhadap TPK yang ingin dicapai. Untuk menguji efektivitas pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM terhadap pembelajaran dengan pendekatan konvensional dalam meningkatkan hasil belajar dan literasi sains siswa, dilakukan perbandingan hasil pre-test dan postes, kemudian dilakukan uji perbedaan antara dua mean melalui uji-t. Data tentang kendala-kendala implemetasi pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM, serta data tentang keterbatasan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM dalam meningkatkan hasil belajar dan literasi sains siswa, dideskripsikan secara naratif.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1 Hasil Penelitian
Ketuntasan hasil belajar siswa pada kelas dengan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM dan ketuntasan hasil belajar siswa pada kelas dengan pembelajaran konvensional adalah seperti berikut
Tabel 1 : Ketuntasan Hasil Belajar Siswa
Kelas % Ketuntasan Individual Ketuntasan Kelasikal
Tuntas Tidak Tuntas
Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan STM 96,28 3,72 Tercapai/tuntas
Pembelajaran Konvensional 69,06 30,94 Tidak Tercapai/ tidak tuntas
Ketuntasan literasi sains siswa kelas dengan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM dan pembelajaran konvensional adalah seperti berikut
Tabel 2 : Ketuntasan Literasi Sains Siswa
Kelas % Ketuntasan Individual Ketuntasan Kelasikal
Tuntas Tidak Tuntas
Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan STM 95,45 4,55 Tercapai/tuntas
Pembelajaran Konvensional 28,57 71,43 Tidak Tercapai/ tidak tuntas

Hasil uji perbedaan Mean ( ) hasil belajar antara pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM dan pembelajaran konvensional adalah seperti berikut
Tabel 3 : Peningkatan Hasil Belajar Siswa
Kelas Rerata Skor dan Simpangan Baku Harga t
t hitung ttabel
Pembelajaran Kontekstual Dengan Pendekatan STM = 29,64
SB = 4,57

9,07

2,66
Pembelajaran Konvensional = 20,31
SB = 4,97

Hasil uji perbedaan Mean ( ) antara pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM dan pembelajaran konvensional dalam meningkatkan literasi sains adalah seperti berikut

Tabel 4 : Peningkatan Hasil Literasi Sains Siswa
Kelas Rerata Skor Dan Simpangan Baku Harga t
t hitung ttabel
Pembelajaran Kontekstual Dengan Pendekatan STM = 29,86
SB = 5,33

10,24

2,66
Pembelajaran Konvensional = 16,79
SB = 3,59

Beberapa kendala dan hambatan dalam mengimplementasikan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM adalah seperti berikut (1) Pada awal–awal pelaksanaan, guru kurang mengaitkan konsep yang dipelajari siswa dengan kehidupan nyata di masyarakat. (2) Siswa belum terbiasa dengan model pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM ini. Siswa kurang terbiasa menghubungkan apa yang sedang dipelajari dengan apa yang dialami dalam sehari-hari sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna. (3) Tidak semua topik bisa/mudah disajikan melalui pembelajaran dengan model pembelajaran kontekstual, karena kesulitan menghubungkannya dengan kenyataan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.

3.2 Pembahasan
Hasil belajar siswa pada kelas dengan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM pencapaiannya termasuk kategori tuntas; sedangkan kelas dengan pembelajaran konvensional pencapaiannya termasuk kategori belum tuntas. Temuan-temuan tersebut menunjukan bahwa pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM bisa dipakai meningkatkan hasil belajar siswa dan lebih baik jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Temuan ini sesuai dengan pendapat Hadiat (Winarno: 1999) yang menyatakan bahwa pengajaran sains dengan pendekatan sains teknologi masyarakat mempunyai keunggulan dalam meningkatkan prestasi belajar dan literasi sains siswa daripada pembelajaran dengan pendekatan tradisional. Temuan ini sesuai pula dengan hasil penelitian yang dilakukan Winarno (1998) yang menemukan bahwa pendekatan sains teknologi masyarakat cukup baik untuk meningkatkan hasil belajar dan literasi sains siswa.
Literasi sains siswa kelas dengan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM termasuk kategori tuntas, sedangkan kelas dengan pembelajaran konvensional pencapaiannya termasuk belum tuntas. Temuan-temuan tersebut menunjukan bahwa pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM bisa dipakai meningkatkan literasi sains siswa dan lebih baik jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Temuan ini sesuai dengan pendapat Hadiat (Winarno: 1999) yang menyatakan bahwa pengajaran sains dengan pendekatan sains teknologi masyarakat mempunyai keunggulan dalam meningkatkan prestasi belajar dan literasi sains siswa daripada pembelajaran dengan pendekatan tradisional. Temuan ini sesuai pula dengan hasil penelitian yang dilakukan Winarno (1998) yang menemukan bahwa pendekatan sains teknologi masyarakat cukuk baik untuk meningkatkan hasil belajar dan literasi sains siswa.
Hasil yang diperoleh dari uji perbedaan mean ( ) hasil belajar dengan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM dan pembelajaran konvensional menunjukan ada perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 5 %. Hasil uji perbedaan mean ( ) literasi sains antara siswa pembelajaran kontekstual dengan pendekatan STM dan siswa dengan pembelajaran konvensional menunjukan ada perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 5%. Temuan ini menunjukan bahwa pembelajaran dengan pendekataan STM lebih unggul daripada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan hasil belajar dan literasi sains siswa. Hasil ini sesuai dengan pendapat Hadiat (Winarno, 1999) yang mengatakan bahwa pengajaran sains dengan pendekatan sains teknologi masyarakat mempunyai keunggulan dalam meningkatkan hasil belajar dan literasi sains siswa daripada pembelajaran dengan pendekatan tradisional.
Kendala-kendala yang dialami dalam mengimplementasikan pembelajaran kontektual dengan pendekatan STM, adalah guru sulit menghubungkan konsep yang dibahas dengan lingkungan siswa, dan siswa sulit menghubungkan konsep yang dipelajari dengan apa yang dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari, serta tidak semua materi mudah diajarkan dengan pendekatan ini. Kendala-kendala tersebut merupakan hambatan yang wajar karena model pembelajaran ini merupakan model pembelajaran baru bagi guru dan siswa. Hambatan ini akan dapat diatasi setelah guru dan siswa terbiasa dengan model pembelajaran ini yaitu selalu harus menghubungkan konsep-konsep yang dipelajari siswa dengan lingkungan sekitar siswa, sehingga pembelajaran akan menjadi bermakna.

4. Penutup
Berdasarkan latar belakang masalah, tujuan, dan analisis data serta pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat diambil simpulan seperti berikut: Pertama, hasil belajar siswa dengan pembelajaran kontektual dengan pendekatan STM memenuhi ketuntasan kelasikal, sedangkan hasil belajar siswa dengan pembelajaran IPA konvensional belum memenuhi ketuntasan kelsikal. Kedua, literasi sains siswa dengan pembelajaran kontektual dengan pendekatan STM, mencapai ketuntasan kelasikal (³ 85 %), sedangkan literasi sains siswa pembelajaran konvensional belum mencapai ketuntasan kelasikal ( 85 %). Ketiga, efektivitas pembelajaran dengan pembelajaran kontektual dengan pendekatan STM dalam meningkatkan hasil belajar siswa lebih besar daripada efektivitas pembelajaran konvensional. Keempat, efektivitas pembelajaran dengan pembelajaran kontektual dengan pendekatan STM dalam meningkatkan literasi sains siswa lebih besar daripada efektivitas pembelajaran konvensional. Kelima, kendala-kendala yang dialami dalam implementasi pembelajaran kontektual dengan pendekatan STM pada umumnya adalah siswa dan guru belum terbiasa mengaitkan konsep dan prinsip yang dipelajari dengan penerapan konsep dan prinsip tersebut dalam kehidupan di masyarakat atau apa yang dipelajari siswa tidak kontekstual dengan kehidupan siswa di masyarakat.
Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini, dapat dikemukakan beberapa saran seperti berikut. Pertama, guru IPA-Fisika SLTP Negeri 2 Singaraja hendaknya dapat melanjutkan penerapan model pembelajaran kontekstual ini pada pokok bahasan yang lain, mengingat model pembelajaran ini lebih efektif dalam meningkatkan hasil belajar dan literasi sains siswa daripada model pembelajaran konvensional.Kedua, guru IPA-Fisika lokasi penelitian ini diharapkan dapat menularkan model pembelajaran kontekstual ini pada guru-guru yang lain terutama pada guru-guru IPA, mengingat model ini merupakan model pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar dan literasi sains siswa. Ketiga, untuk pebinaan pembelajaran IPA di SLTP, hendaknya para kepala sekolah dan instansi terkait dapat menerapkan hasil-hasil penelitian dan perlu melakukan pengkajian pada model-model pembelajaran yang inovatif untuk menunjang pencapaian tujuan pembelajaran di SLTP yang lebih berkualitas.


DAFTAR PUSTAKA

Arens, R.I., 1997. Classroom and Management. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
Borich, G.D. 1994. Obsevation Skill for Effective Teaching.New York: Macmillan Publishing Company.
Dahar, R.W. 1989. Teori-Teori Belajar.Jakarta: Erlangga.
Depdikbud RI. 1993.Kurikulum Pendidikan Dasar. Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Jakarta.
Hidayat, E.M.1996. Sains Teknologi Masyarakat: Makalah seminar Literasi sains dan Teknologi Pendidikan Dasar. Jakarta: 13 Agustus 1996.
Karyadi, B.1996. Gagasan Tentang Pelaksanaan Sains-Teknologi Masyarakat di Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama: Makalah Seminar Literasi sains dan Teknologi. Jakarta: Balitbang.
Nur, M., 2001. Pengajaran dan Pembelajaran Kontektual: Makalah yang disajikan pada pelatihan pada TOT Guru-Guru SLTP tanggal: 20 Juni s/d 2001 di Puasat Pendidikan dan Latihan Wilayah IV Surabaya.
Poedjadi, A., 1996. Peningkatan Kualitas Daya Manusia Melalui Literasi Sains Dan Teknologi Bagi Masyarakat; Makalah Seminar Literasi Sains Dan tenologi Siswa Pendidikan Dasar. Jakarta: 13 Agustus 1996.
Prabowo. 2001. Pendidikan Fisika Dalam Mengatasi Tantangan Abad XXI, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru BesarMadya Dalam Ilmu Pendidikan FisikaUniversitas Negeri Surabaya. Surabaya: 16 Mei 2000.
Sadia, W., 1998. Reformasi Pendidikan Sains (IPA) Menuju Masyarakat Yang Literasi Sains dan Teknologi; Orasi Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Pendidikan Fisika pada STKIP Singaraja. Singaraja: 14 Oktober 1998.
Sarna, K., 1997. Studi tentang Kebijakan Pengelolaan Proses Pembelajaran Bidang Studi MIPA Dengan Pendekatan Partisipatif Pada Anak-anak Kelas II SMU Laboratorium Singaraja 1997/1998. Laporan Penelitian.
TIM Balitbang. 1996. Literasi Sains dan Teknologi (laporan Penelitian), Jakarta: Pusat Penelitian dan Kebudayaan.
Winarno R. & Susilo H., 1999. Pedoman Pelaksanaan Pembelajaran Sains Dengan PendekatanSains-Teknologi-Masyarakat (STM). Malang.
















Berikut ini adalah versi HTML dari berkas http://shobru.files.wordpress.com/2008/08/life-skills.pdf.
G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara otomatis pada saat menelusuri web.
Page 1
PENERAPAN
PENDEKATAN SAINS-TEKNOLOGI-MASYARAKAT (STM)
DALAM PEMBELAJARAN IPA SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN
LIFE SKILLS PESERTA DIDIK
Oleh :
Sabar Nurohman, S.Pd.Si
Abstrak
Pendidikan IPA selama ini lebih banyak berlangsung secara teks book, hal ini
menyebabkan pembelajaran menjadi tidak bermakna, peserta didik tercerabut dari
kehidupan nyata, dan pada akhirnya pendidikan tidak mampu memberikan bekal
life skills kepada peserta didik. Pendekatan STM menghajatkan agar pembelajaran
yang berlangsung di dalam kelas senantiasa bersesuaian dengan perkembangan
yang terjadi di masyarakat. Sesuai dengan objek kajian IPA yaitu segala fenomena
alam, maka semestinya pendidikan IPA dengan menggunakan pendekatan STM
diharapkan mampu membekali peserta didik dengan life skills agar dapat bertahan
hidup di alam dengan segala dinamikanya.
Kata Kunci : Pendidikan IPA, Pendekatan STM, Life skills
I.
PENDAHULUAN
Pendidikan dan kemanusiaan, adalah dua hal yang saling bertalian.
Pendidikan sudah seharusnya selalu berhubungan dengan tema-tema
kemanusiaan. Sebagaimana diungkapkan oleh Suhandoyo (1993), bahwa
hakikat pendidikan adalah untuk mengejar pencapaian kualitas hidup yang
tinggi para peserta didiknya. Pendidikan dengan demikian harus mampu
membongkar dan mengembangkan keseluruhan potensi kemanusiaan
seorang peserta didik sehingga ia memiliki kesanggupan untuk hidup di era
mendatang yang memiliki kompleksitas permasalahan yang jauh lebih rumit
dari yang ada saat ini. Pendidikan juga harus didesain sedemikian rupa agar
mampu membebaskan peserta didik untuk berkreasi menemukan
ketrampilnnya sendiri. Dengan kata lain, pendidikan diselenggarakan untuk
dapat memastikan bahwa para peserta didik memiliki life skills.Terlebih lagi
pendidikan IPA, semestinya pendidikan IPA dengan segala isi dan
karakternya bisa memberikan sumbangan yang lebih riel terhadap peserta
didik agar ia memiliki bekal yang memadai sehingga dapat bertahan hidup
________________________________________
Page 2
di masyarakat. Hal ini karena pendidikan IPA senantiasa berdekatan dengan
realitas alam yang menjadi tempat hidup peserta didik, sebagaimana
disimpulkan oleh Supriyadi (2003), bahwa IPA adalah keseluruhan cara
berfikir untuk memahami gejala alam, sebagai suatu cara penyelidikan
tentang kejadian alam, dan sebagai batang tubuh keilmuan yang diperoleh
dari suatu penyelidikan. Pendidikan IPA dengan demikian akan mengajak
peserta didik untuk semakin dekat dengan alam tempat ia berpijak.
Keinginan untuk mencetak manusia-manusia yang memiliki modal
cukup sehingga sanggup menghadapi tantangan masa depan sebagaimana
dipaparkan di atas agaknya harus berhadapan dengan realitas yang tidak
cukup menyenangkan. Hingga sekarang, dunia pendidikan masih diwarnai
praktik-praktik yang menghambat bagi proses pembongkaran potensi peserta
didik secara sungguh-sungguh. Kebanyakan sekolah selama ini
menerjemahkan pendidikan IPA sebagai sekedar transfer of knowledge
yang dimiliki guru kepada peserta didik dengan hapalan-hapalan teori
maupun rumus-rumus, sekedar untuk bisa menjawab soal-soal ujian, tetapi
seringkali tidak sanggup untuk menterjemahkannya ke dalam realitas yang
ada di sekelilingnya. Pendidikan dengan demikian tidak cukup memberi
bekal life skills kepada peserta didik bahkan ia menjadi tercerabut dari
problem riel yang seharusnya mereka jawab dan selesaikan.
Lebih parah lagi, sebagaimana diungkapkan oleh Firdaus M Yunus
(2004:ix), pendidikan di Indonesia selama ini hanya berfungsi ”membunuh”
kreativitas peserta didik, karena lebih banyak mengedepankan aspek
verbalisme. Verbalisme merupakan asas pendidikan yang menekankan
hapalan bukannya pemahaman, mengedepankan formulasi daripada
substansi, parahnya ia lebih menyukai keseragaman bukannya kemandirian
serta hura-hura klasikal bukannya petualangan intelektual. Realitas ini
jugalah yang telah menyebabkan pendidikan kita menghasilkan sekian
banyak orang yang cakap mengerjakan soal, namun tidak faham atas makna
rumus-rumus yang ia operasikan dan angka-angaka yang ia tuliskan. Akibat
verbalisme, teori bukannya membumi, malah tercerabut dari pengalaman
________________________________________
Page 3
keseharian. Pendidikan seolah menjadi tidak harus bersentuhan dengan
persoalan yang telah merealita. Alih-alih menjawab problem mendasar yang
tengah dihadapi oleh peserta didik atau lingkungannya, senyatanya
pendidikan justru menjadi masalah baru karena praktik pendidikan
disterilkan dari keberpihakannya pada problem masyarakat. Pendidikan
yang bergaya verbalistik ini pulalah yang turut menyebabkan pendidikan
IPA menjadi kurang diminati, karena tidak dapat menjawab persoalan
keseharian dan jauh dari pembekalan atas life skills yang bermanfaat
langsung bagi perjalanan hidup peserta didik.
Seringkali dalam proses pendidikan IPA materi tidak sejalan dengan
kenyataan yang dihadapi oleh peserta didik, minimal di tingkat lokal.
Padahal proses pendidikan sesungguhnya dijalankan dalam rangka
memenuhi kebutuhan akan sumber daya manusia yang (minimal) sanggup
menyelesaikan persoalan lokal yang melingkupinya. Artinya, setiap proses
pendidikan seharusnya mengandung berbagai bentuk pelajaran dengan
muatan lokal yang signifikan dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga
output pendidikan adalah manusia yang sanggup untuk memetakan dan
sekaligus memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat
dengan life skills yang ia dapatkan di bangku sekolahnya.
Gaya pembelajaran yang mengarahkan peserta didik untuk
senantiasa teks book juga telah mematikan kreativitas peserta didik.
Meminjam istilah yang dikemukakan oleh Djohar, selama ini peserta didik
diajarkan untuk terus-menarus menjadi ”pemulung” produk-produk ilmiah
barat tanpa pernah diarahkan untuk mencoba mengeluarkan produk-produk
orisinil dari pikirannya sendiri. Peserta didik tidak dibiasakan untuk
mengkonstruksi sendiri bangunan pengetahuan berdasarkan pengetahuan
yang telah didapat sebelumnya dan atas pembacannya terhadap realitas yang
ada di sekelilingnya. Kondisi ini telah menyebabkan ”kematian” thingking
skills yang menjadi bagian dari konsep life skills.
Melihat kondisi yang cukup memprihatinkan tersebut, agaknya para
pemerhati maupun praktisi dunia pendidikan di Indonesia dituntut untuk
________________________________________
Page 4
segera melakukan upaya perbaikan. Dalam hal ini, penulis mencoba
mengangkat salah satu pendekatan pembelajaran dalam IPA yaitu
pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (STM). Pendekatan ini
dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan antara pembelajaran IPA di
dalam kelas dengan kemajuan teknologi dan perkembangan masyarakat
yang ada di sekitar peserta didik. Melalui pendekatan ini peserta didik juga
dilatih untuk membiasakan diri bersikap peduli akan masalah-masalah sosial
dan lingkungan yang berkaiatan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Melihat dasar pijakan pengembangan pendekatan STM tersebut, maka tidak
berlebihan kiranya jika pendekatan STM dalam pembelajaran IPA layak
dimunculkan sebagai upaya peningkatan life skills peserta didik.
II. KAJIAN LITERATUR DAN BAHASAN
1. Life Skills
Life skills atau biasa disebut sebagai kecakapan hidup jika dirunut
dari segi bahasa berasal dari dua kata yaitu life dan skill. Life berarti hidup,
sedangkan skill adalah kecakapan, kepandaian, ketrampilan. Sehingga Life
skills secara bahasa dapat diartikan sebagai kecakapan, kepandaian atau
ketrampilan hidup. Umumnya dalam penggunaan sehari-hari orang
menyebut life skills dengan istilah kecakapan hidup.
Penjelasan secara lebih komperehensif tentang kecakapan diajukan
oleh IOWA State University (2003: 1), dalam hal ini skill diartikan sebagai
berikut, a skill is a learned ability to do something well. Kecakapan tidak
hanya diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu, lebih
daripada itu, kecakapan dimaknai sebagai kemampuan belajar untuk
melakukan sesuatu secara lebih baik. Jadi mampu melakukan sesuatu saja
belum cukup untuk dikatakan sebagai cakap, melainkan kemampuan untuk
melakukan sesuatu tersebut harus ditunjukan secara lebih baik dan
diperoleh melalui suatu aktivitas belajar. Demikianlah IOWA State
University mensyaratkan aspek kesempurnaan dalam konteks skill.
________________________________________
Page 5
Sedangkan life skills oleh IOWA State University (2003: 1),
diartikan sebagai, are abilities individuals can learn that will help them to
be successful in living a productive and satisfying life. Kecakapan hidup
dimengerti sebagai kemampuan individual untuk dapat belajar sehingga
seseorang memperoleh kesuksesan dalam hidupnya, produktif dan mampu
memperoleh kepuasan hidup. Indikator seseorang telah memperoleh life
skills dengan demikian dapat dilihat dari sejauhmana ia mampu eksis
dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat. Apabila seseorang
mampu produktif dan membuat berbagai kesuksesan, maka dapat
dikatakan orang tersebut memiliki life skills yang baik.
Definisi lain tentang life skills diuangkap oleh lifeskills4kids
(2000:1) bahwa, In essence, life skills are an "owner's manual" for the
human body. These skills help children learn how to maintain their bodies,
grow as individuals, work well with others, make logical decisions, protect
themselves when they have to and achieve their goals in life.
Secara esensial, life skills didefinisikan sebagai (semacam)
petunjuk praktis yang membantu anak-anak untuk belajar bagaimana
merawat tubuh, tumbuh untuk menjadi seorang individu, bekerja sama
dengan orang lain, membuat keputusan-keputusan yang logis, melindungi
diri sendiri untuk mencapai tujuan dalam hidupnya. Sehingga dalam hal
ini yang akan menjadi tolok ukur life skills pada diri seseorang adalah
terletak pada kemampuannya untuk meraih tujuan (goal) hidupnya. Life
skills memotivasi anak-anak dengan cara membantunya untuk memahami
diri dan potensinya sendiri dalam kehidupan, sehingga mereka mampu
menyusun tujuan-tujuan hidup dan melakukan proses problem solving
apabila dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup.
Istilah life skills menurut Depdiknas (2002: 5) tidak semata-mata
diartikan memiliki ketrampilan tertentu (vocational job) saja, namun ia
harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti
membaca, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah,
mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja
________________________________________
Page 6
dan mempergunakan teknologi. Program pendidikan life skills menurut
Anwar (2004: 20) adalah pendidikan yang dapat memberikan bekal
ketrampilan yang praktis terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja,
peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada di masyarakat.
Life skills dengan demikian memiliki cakupan yang luas,
berinteraksi antara pengetahuan yang diyakini sebagai unsur penting untuk
hidup lebih mandiri. Pendidikan yang berorientasi pada life skills berarti
harus senantiasa cerdas menangkap setiap kebutuhan masyarakat.
Keduanya, yaitu lembaga pendidikan dan masyarakat harus
mengupayakan adanya pola hubungan yang dinamis untuk
mengkomunikasikan berbagai persoalan yang harus ditangani oleh
lembaga pendidikan.
Depdiknas (2002: 8) melukiskan komponen life skills dalam
sebuah diagram klasifikasi sebagaimana tertera di bawah ini.
Gambar 2.1 Diagram Klasifikasi Life Skills
Life Skills
General
Life Skills
Spesifik
Life Skills
Vocational Skills
Academic Skills
Social Skills
Thinking Skills
Personal Skills
________________________________________
Page 7
Life skills yang harus dikembangkan dalam dunia pendidikan
setidaknya terbagi dalam dua kategori, yaitu pertama General Life Skills
(GLS) yang terdiri dari kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir
rasional, dan kecakapan sosial. Sedangkan yang kedua adalah Spesific Life
Skills (SLS) yang terdiri dari kecakapan akademik dan kecakapan
vokational.
Sedangkan Utah State Board of Education (2001: 1-7), memahami
life skills sebagai seperangkat kecakapan hidup yang terdiri dari lifelong
learning, complex thinking, effective comunication, collaboration,
responsible citizenship, dan employability.
2. Karakteristik IPA
Objek kajian pendidikan IPA berada pada berbagai
persoalan/fenomena alam. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Supriyadi (1999: 1) bahwa objek kajian IPA adalah segala fenomena
lingkungan (alam) yang berujud titik kecil hingga alam raya yang sangat
besar. IPA menurut Depdiknas (2003: 6) merupakan cara mencari tahu
tentang alam semesta secara sistematis untuk menguasai pengetahuan,
fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses penemuan, dan
memiliki sikap ilmiah.
Trowbidge dan Byebee (1986: 38) memberikan sekema umum
ilmu pengetahuan sebagai berikut :
Gambar 2.2 IPA sebagai tubuh ilmu pengetahuan
Art
History
KNOWLEDGE
Philosophy
Science
Music
Literatur
________________________________________
Page 8
Berdasarkan diagram tersebut, Trowbidge dan Byebee (1986: 38)
mendefinisikan IPA sebagai berikut : Science is body of knowledge,
formed by of continous inquiry, and compassing the people who are
engaged in the scientific enterprise. Jadi karakteristik IPA yang kemudian
membedakannya dengan ilmu pengetahuan yang lain adalah bahwa IPA
ditempuh melalui berbagai penemuan proses empiris secara berkelanjutan
yang masing-masing akan memberi kontribusi dengan berbagai jalan
untuk membentuk sistem unik yang disebut IPA.
Suyoso (2001: 1-4) mengungkapkan bahwa nilai intelektualitas
IPA menuntut kecerdasan dan ketekunan, dalam mencari jawaban suatu
persoalan didasarkan atas pertimbangan rasional dan objektivitas dengan
melalui observasi atau kegiatan eksperimen untuk memperoleh data yang
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Secara lebih terperinci,
Robert B. Sund (1973: 12) menjelaskan tentang bagaimana suatu
pemahaman IPA ditemukan atau yang sekarang dikenal sebagai metode
IPA (scientific method). Setidaknya ada enam langkah untuk melakukan
proses IPA , yaitu (1) stating the problem, (2) formulating hypotheses, (3)
designing an experiment, (4) making obsevation, (5) collecting data from
the experiment, (6) drawing conclutions.
3. Pendekatan STM
Melihat karakteristik IPA sebagaimana yang diungkapkan pada
bagian sebelumnya, maka agar pembelajaran IPA lebih bermakna bagi
siswa, dalam arti memeiliki kontribusi yang memadai dalam rangka
meningkatkan kapasitas life skills siswa, pembelajaran harus dirancang
sedemikian rupa sehingga apa yang dipelajari siswa menyentuh persoalan-
persoalan yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Pada titik inilah
pendekatan STM menjadi penting untuk diperhatikan.
a. Pengertian STM
Sains-Teknologi-Masyarakat (STM) yang diterjemahkan dari
akronim bahasa Inggris STS (“Science-Technology-Society”) adalah
sebuah gerakan pembaharuan dalam pendidikan IPA. Pembaharuan ini
________________________________________
Page 9
mula-mula terjadi di Inggris dan Amerika, sekarang sudah merebak ke
negara-negara lain. Pendekatan STM dalam pendidikan IPA diyakini
oleh pakar-pakar di Amerika sebagai pendekatan yang tepat, sebab
pendekatan ini berusaha untuk menjembatani materi di dalam kelas
dengan situasi dunia nyata di luar kelas yang menyangkut
perkembangan teknologi dan situasi sosial kemasyarakatan. Hal ini
menggambarkan bahwa pendekatan STM dijalankan untuk
mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi masa depannya.
Pendekatan ini menuntut agar peserta didik diikutsertakan dalam
penentuan tujuan, perencanaan, pelaksanaan, cara mendapatkan
informasi, dan evaluasi pembelajaran. Adapun yang digunakan sebagai
penata (organizer) dalam pendekatan STM adalah isu-isu dalam
masyarakat yang ada kaitannya dengan Sains dan Teknologi.
National Science Teachers Association (NSTA) (1990 :1)
memandang STM sebagai the teaching and learning of science in the
context of human experience. STM dipandang sebagai proses
pembelajaran yang senantiasa sesuai dengan konteks pengalaman
manusia. Dalam pendekatan ini siswa diajak untuk meningkatakan
kreativitas, sikap ilmiah, menggunakan konsep dan proses sains dalam
kehidupan sehari-hari.
Definisi lain tentang STM dikemukakan oleh PENN STATE
(2006:1) bahwa STM merupakan an interdisciplinary approach which
reflects the widespread realization that in order to meet the increasing
demands of a technical society, education must integrate across
disciplines. Dengan demikian, pembelajaran dengan pendekatan STM
haruslah diselenggarakan dengan cara mengintegrasikan berbagai
disiplin (ilmu) dalam rangka memahami berbagai hubungan yang
terjadi di antara sains, teknologi dan masyarakat. Hal ini berarti bahwa
pemahaman kita terhadap hubungan antara sistem politik, tradisi
masyarakat dan bagaimana pengaruh sains dan teknologi terhadap
________________________________________
Page 10
hubungan-hubungan tersebut menjadi bagian yang penting dalam
pengembangan pembelajaran di era sekarang ini.
Pandangan tersebut senada dengan pendapat NC State
University (2006: 1), bahwa STM merupakan an interdisciplinery field
of study that seeks to explore a understand the many ways that
scinence and technology shape culture, values, and institution, and
how such factors shape science and technology. STM dengan
demikian adalah sebuah pendekatan yang dimaksudkan untuk
mengetahui bagaimana sains dan teknologi masuk dan merubah
proses-proses sosial di masyarakat, dan bagaimana situasi sosial
mempengaruhi perkembangan sains dan teknologi.
b. Tujuan Pendekatan STM
Berdasarkan pengertian STM sebagaimana diungkapkan di
bagian sebelumnya, maka dapat diungkapkan bahwa yang menjadi
tujuan pendekatan STM ini secara umum sebagaimana diungkapkan
oleh Rusymansyah (2006: 3) adalah agar para peserta didik
mempunyai bekal pengetahuan yang cukup sehingga ia mampu
mengambil keputusan penting tentang masalah-masalah dalam
masyarakat dan sekaligus dapat mengambil tindakan sehubungan
dengan keputusan yang diambilnya.
PENN STATE (2006:1) secara lebih terinci merumuskan tujuan
STM/ STS sebagai berikut :
1) STS provides a bridge between the sciences and the liberal
arts.
2) STS encourages communication between diverse disciplines, so
students may better appreciate the many complex ways in
which science, technology, and society interact.
3) STS critically examines issues such as genetic engineering, the
environment, emergent diseases, computers and the Internet,
applied ethics, nuclear waste, and international agriculture.
4) STS provides students with the foundations for responsible
citizenship, and the skills necessary to succeed in a highly
competitive and constantly changing future workplace
________________________________________
Page 11
Sedangkan NC State University (2006:1) menggariskan tujuan
program pembelajaran STM/STS sebagai berikut :
1) Help its students learn some of the alternative ways of thinking
and conducting research that characterize the interdisciplinary
Science, Technology & Society field, and to relate these to
larger human concerns
2) Enable its students to explore complex STS topics by seeing
them from multiple perspectives and in relation of other topics,
and to integrate STS information and concepts from a variety
of sources
3) Provide its students with the skills and resources to learn key
STS concepts, literature, practices, and issues in order to
encourage lifelong learning
Berdasarkan dua pandangan tersebut, maka dapat
disederhanakan bahwa STM dikembangkan dengan tujuan agar :
1) Peserta didik mampu menghubungkan realitas sosial dengan topik
pembelajaran di dalam kelas
2) Peserta didik mampu menggunakan berbagai jalan/ perspektif
untuk mensikapi berbagai isu/ situasi yang berkembang di
masyarakat berdasarkan pandangan ilmiah
3) Peserta didik mampu menjadikan dirinya sebagai warga
masyarakat yang memiliki tanggungjwab sosial.
c. Penerapan Pendekatan STM
Pendekatan STM, sesuai dengan pengertian dan tujuan yang
diungkapkan sebelumnya, dalam penerapannya di dalam kelas
sesungguhnya tidak membutuhkan konsep ataupun proses yang terlalu
unik. Sebagaimana menurut pandangan National Science Teachers
Association (1990:1), there are no concepts and/or processes uniqe to
STS. Hanya saja, ada beberapa prinsip yang harus dimunculkan dalam
pendekatan STM menurut National Science Teachers Association
(1990:2) yaitu sebagai berikut:
1) Peserta didik melakukan identifikasi terhadap persoalan dan
dampak yang ditimbulkan dari persoalan tersebut yang muncul di
sekitar lingkungannya
________________________________________
Page 12
2) Menggunakan sumberdaya lokal untuk mencari informasi yang
dapat digunakan dalam penyelesaian persoalan yang telah berhasil
diidentifikasi
3) Menfokuskan pembelajaran pada akibat yang ditimbulkan oleh
sains dan teknologi bagi peserta didik
4) Pandangan bahwa pemahaman terhadap konten sains lebih
berharga daripada sekedar mampu mengerjakan soal
5) Adanya penekanan kepada keterampilan proses yang dapat
digunakan peserta didik untuk menyelesaikan persoalannya sendiri
6) Adanya penekanan pada kesadaran berkarir, terutama karir yang
berhubungan dengan sains dan teknologi
7) Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memperoleh
pengalaman tentang aturan hidup bermasyarakat yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang telah diidentifikasi
Dengan melihat karakteristik IPA dan pendekatan STM
sebagaimana yang diungkapkan di muka, maka dapat dilihat bahwa
keduanya memiliki prospek yang cukup baik dalam rangka
peningkatan life skills peserta didik. Pendekatan STM menghajatkan
agar peserta didik mampu merespon setiap perkembangan di
masyarakat secara scientific, itu berarti bahwa peserta didik diarahkan
untuk memiliki thinking skills dan sekaligus academic skills agar bisa
eksis hidup di masyarakat.
Secara sederhana dapat dituliskan bahwa persoalan yang
sekarang banyak muncul, yaitu adanya fenomena bahwa lulusan
lembaga-lembaga pendidikan formal belum cukup dibekali life skills,
maka pendidikan IPA dengan menggunakan pendekatan STM dapat
dijadikan sebagai alternatif pemecahan terhadap persoalan yang ada.
III. SIMPULAN
1. Pendidikan IPA selama ini masih berjalan secara teks book, kondisi ini
menyebabkan pendidikan IPA menjadi kurang bermakna dan tidak mampu
________________________________________
Page 13
memberi bekal life skills kepada peserta didik untuk menjawab berbagai
persoalan yang muncul di masyarakat.
2. Pendekatan STM merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran IPA
yang bertujuan agar lulusannya memiliki kemampuan untuk menghadapi
berbagai persoalan yang muncul di masyarakat, hal ini karena pendekatan
STM selalu beruapaya untuk menghubungkan antara materi IPA di dalam
kelas dengan perkembangan teknologi dan dinamika masyarakat.
Daftar Pustaka
Anwar. (2004). Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education). Bandung: Penerbit
Alfabeta.
Depdiknas. (2002). Pengembangan Pelaksanaan Broad-Based Education, High-
Based Education, dan Life Skills di SMU. Jakarta: Depdiknas.
Firdaus M Yunus. (2004). Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Paulo freire-Y.B
Mangunwijaya. Yogyakarta: Logung Pustaka.
IOWA State University. (2003). Incorporating Developmentally Appropriate
Learning Opportunities to Assess Impact of Life Skill Development.
http://www.extension.iastate.edu/4H/lifeskills
Lifeskills4kids.
(2000).
Introduction
&
F.A.Q.
(Frequently Asked Questions). kdavis@LifeSkills4Kids.com
Suhandoyo (1993). Upaya Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui
Interaksi Positif dengan Lingkungan. Yogyakarta: PPM IKIP Yogyakarta.
Supriyadi. (1999). Buku Pegangan Perkuliahan Teknologi Pengajaran Fisika.
Yogyakarta: Jurdik Fisika FMIPA UNY
Suyoso. (2001). Ilmu Alamiah Dasar. Yogyakarta:
Trowbidge dan Byebee. (1986). Becoming a Secondary school science Teacher.
London: Merill Publishing Company.
Utah State Board of Education. (2001). Life Skills. www.caseylifeskills.org
Rusmansyah.(2000). Prospek Penerapan Pendekatan Sains-Teknologi-
Masyarakat (STM) dalam pembelajaran Kimia di Kalimantan Selatan.
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/40/editorial40.htm
National Science Teachers Association (1990). STS : A New Effort for Providing
Appropriate Scvience for All. http:/www.nsta.org/positionstatment&psid=34
Penn State (2006). Abaut STS.http://www.engr.psu.edu/sts/abaut.htm
NC State University (2006).Scince, Technology & Society (STS) Program.
http://www.chass.ncsu.edu/ids/sts/
________________________________________
Page 14
Identitas Penulis
Nama
: Sabar Nurohman, S.Pd.Si
NIP
: 132309687
Jurusan
: Pendidikan Fisika FMIPA UNY
Alamat Rumah
: Berbah-Sleman-Yogyaklarta, HP : 081328599185
Alamat Kantor
: Lab. Fisika Komputasi, Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA
UNY (0274) 550847
Berikut ini adalah versi HTML dari berkas http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132304798/STM.pdf.
G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara otomatis pada saat menelusuri web.
Page 1
1
Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (STM)
bagi Pengembangan Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar
Safitri Yosita Ratri
Staf Pengajar D-II PGSD FIP UNY
ABSTRAK
Penggunaan pendekatan pembelajaran yang inovatif masih tetap
berlangsung dan perlu dikembangkan pada Sekolah Dasar (SD). Salah satunya yang
dilakukan pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang sampai saat ini
masih diasumsikan sebagai pelajaran yang membosankan dan menuntut hafalan,
serta materi yang kurang sesuai dengan perkembangan masyarakat lagi. Adapun
solusi dari permasalahan tersebut adalah dengan mengembangkan Pendekatan
Science-Technology-Society (STS) atau yang dikenal dalam bahasa Indonesia
sebagai Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (STM). Pendekatan STM bagi
pembelajaran IPS, yang hakekatnya mempelajari manusia dengan lingkungannya,
pada SD akan memberikan makna bahwa IPS berkaitan dengan kehidupan sehari-
hari peserta didik sebagai manusia. Melalui pembelajaran IPS ini, pendekatan STM
di SD akan melatih peserta didik agar selalu peka terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan (sains) dan teknologi yang sesuai dengan realita kehidupan mereka.
Peserta didik perlu dilatih sedini mungkin sebagai persiapan di masa mendatang
supaya mampu mengambil keputusan yang tepat dalam menghadapi masalah sosial
tanpa yang dikarenakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kata kunci : Sains Teknologi Masyarakat, Ilmu Pengetahuan Sosial, Sekolah Dasar
________________________________________
Page 2
2
Pendahuluan
Reformasi di bidang pendidikan melalui pengembangan pendekatan atau
metode pembelajaran akan sangat bermanfaat dalam kehidupan era global. Hal ini
sangat penting terutama sejak diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi
2001 yang menghendaki potensi guru dan peserta didik agar dapat berkembang
secara optimal. Lebih lanjut seperti yang tercantum dalam tujuan KBK, yaitu
memandirikan atau memberdayakan sekolah dalam mengembangkan kompetensi
yang akan disampaikan kepada peserta didik sesuai dengan kondisi lingkungan.
Memandirikan atau memberdayakan sekolah berupa pengembangan potensi guru
dalam kegiatan belajar mengajar, sedangkan sesuai kondisi lingkungan adalah
pemanfaatan lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat sebagai sumber belajar.
Namun pada kenyataannya masih ditemukan adanya penggunaan pendekatan yang
konvensional pada kegiatan pembelajaran. Langkah yang perlu diambil oleh guru
yaitu dengan melakukan pengembangan metode-metode pembelajaran yang mampu
mengatasi kenyataan tersebut.
Pendidikan IPS sebagai bagian dari pendidikan secara umum memiliki peran
penting dalam peningkatan mutu pendidikan. Secara khusus Pendidikan IPS turut
serta berperan dalam menghasilkan peserta didik yang berkualitas, yaitu manusia
yang mampu berfikir kritis, kreatif, logis, dan berinisiatif dalam menanggapi gejala
dan masalah sosial yang berkembang dalam masyarakat yang diakibatkan oleh
perkembangan teknologi di era global.
Saat ini pembelajaran dengan menerapkan metode-metode yang inovatif
mulai diterapkan di Sekolah Dasar. Salah satu penerapan yang perlu dilakukan
adalah pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Mengapa demikian?
________________________________________
Page 3
3
Sebab kelemahan dan permasalahan yang sering terjadi dan dirasakan oleh guru yaitu
bahwa IPS masih dianggap pelajaran yang monoton, membosankan, menuntut
hafalan yang tidak sedikit. Hal tersebut terjadi karena pembelajaran masih
menggunakan metode ceramah yang lebih berpusat pada guru. Aktivitas peserta
didik sebagian besar hanyalah mendengarkan penjelasan guru dan mencatat hal-hal
yang dianggap penting. Kelemahan lain adalah bahwa materi yang diajarkan sudah
tidak up to date lagi atau tidak sesuai lagi dengan realita kehidupan masyarakat.
Padahal pembelajaran IPS merupakan bidang studi yang diharapkan akan
memberikan makna yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik
sebagai manusia. Permasalahan pembelajaran tersebut akan berdampak pada
kurangnya minat dan motivasi peserta didik untuk belajar sehingga pembelajaran
menjadi tidak bermakna.
Dalam Djojo Suradisastra (1991) menyatakan bahwa IPS lahir dari keinginan
para pakar pendidikan untuk “membekali” para siswa supaya nantinya mereka
mampu menghadapi dan menangani kompleksitas kehidupan di masyarakat yang
seringkali berkembang secara tidak terduga merupakan bidang studi yang
mempelajari manusia dan dunianya. Perkembangan seperti itu dapat membawa
berbagai dampak yang luas. Karena luasnya akibat terhadap kehidupan maka lahir
masalah yang seringkali disebut masalah sosial. Peserta didik perlu menyadari
tantangan-tantangan menghadapi gejala-gejala yang seperti itu. Pada dasarnya, IPS
merupakan kajian tentang manusia dan dunia sekelilingnya. Yang menjadi pokok
kajian IPS ialah tentang hubungan antarmanusia, sedangkan latar telaahnya adalah
kehidupan nyata manusia. Perlu disadari bahwa, sesuai dengan tingkat
perkembangannya, siswa SD belum mampu memahami keluasan dan kedalaman
________________________________________
Page 4
4
masalah-masalah sosial secara utuh. Akan tetapi mereka dapat diperkenalkan kepada
masalah-masalah tersebut. Melalui pengajaran IPS mereka dapat memperoleh
pangetahuan, keterampilan, sikap, dan kepakaan untuk menghadapi hidup dengan
tantangan-tantangannya. Selanjutnya mereka kelak diharapkan mampu bertindak
secara rasional dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapinya.
Dari uraian diatas, secara umum pembelajaran IPS akan melibatkan peserta
didik dengan lingkungan disekitarnya dengan menumbuhkembangkan kesadaran dan
kepekaan tentang gejala dan masalah sosial. Kepekaan yang perlu ditingkatkan pada
abad 21 ini antara lain penguasaan Ilmu pengetahuan (sains) dan kamajuan
teknologi. Seperti yang diungkapkan oleh Prayekti (2001), penguasaan Iptek
merupakan kunci dalam abac 21 ini. Oleh karena itu, peserta didik perlu dipersiapkan
untuk mengenal, memahami, dan menguasai Iptek dalam rangka meningkatkan
kualitas hidupnya. Upaya untuk mempersiapkan hal itu memang sudah dilakukan
melalui pendidikan formal, sesuai dengan Undang-Undang N0. 2 Tahun 1989.
Pengantar Sains dan Teknologi pun sudah diajarkan sejak pendidikan dasar.
Salah satu cara sebagai langkah strategis yang perlu diambil oleh guru untuk
dapat menciptakan sumber daya manusia berkualitas adalah dengan menggunakan
beberapa metode dan pendekatan. Dalam hal ini pendekatan yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah Pendekatan Sains Teknologi
Masyarakat (STM). Prayekti (2001) menyatakan bahwa pendekatan STM
memungkinkan siswa berperan secara aktif dalam pembelajaran dan dapat
menampilkan peranan sains dan teknologi di dalam kehidupan masyarakat. Mengapa
STM merupakan salah satu pendekatan yang perlu diangkat dalam pembelajaran
IPS? Lebih jauh Nurdin (2005) menyatakan bahwa untuk dapat mengorganisasikan
________________________________________
Page 5
5
pembelajaran yang lebih bermakna dan menyentuh realita kehidupan siswa, antara
lain dengan mengembangkan pembelajaran STM. Hal itu akan memberikan makna
bahwa pembelajaran IPS berkaitan dengan kehidupan siswa atau manusia sehari-hari
sehingga perlu dikembangkan pembelajaran yang sesuai dengan realita kehidupan
siswa. Pembelajaran bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan saja, tetapi juga
berkaitan dengan bagaimana siswa mampu memahami dampak dari pembelajaran
atau hasil pembelajaran tersebut baik dampak positif maupun negatifnya.
Hasil penelitian Harms dan Yager dalam Iskandar (1996) menunjukkan
bahwa pembelajaran sains dengan pendekatan STM dapat memenuhi kebutuhan
pribadi siswa, dapat dipakai untuk memecahkan masalah dalam masyarakat, dan
dapat meningkatkan wawasan siswa tentang karir. Diharapkan dengan adanya
penggunaan Pendekatan STM yang diimplementasikan pada pembelajaran IPS di
Sekolah Dasar, peserta didik akan memiliki persiapan sedini mungkin dalam
menghadapi tantangan di masa depan yang secara kualitatif cenderung meningkat.
Pengertian Sains-Teknologi-Masyarakat (STM)
Poedjiadi dalam Fajar (2004) mengemukakan, secara etimologi, kata
teknologi berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu kata techne dan logos. Techne
artinya seni (art) atau keterampilan, logos artinya kata-kata yang terorganisasi atau
wacana ilmiah yang mempunyai makna. Menurut pernyataan Amien (1992 dalam
Fajar 2004), tujuan pendidikan sains abad 21 antara lain; harus tanggap terhadap
kondisi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa sekarang dan masa
yang akan datang dan masalah-masalah sosial yang timbul dari isu-isu sosial.
Sedangkan menurut Hidayat (1992 dalam Fajar 2004) untuk pendidikan sains 2000
________________________________________
Page 6
6
hendaknya ditujukan pada pengembangan-pengembangan individu yang melek sains,
mengerti bahwa sains-teknologi dan masyarakat saling mempengaruhi dan saling
bergantung, mampu mempergunakan pengetahuannya dalam membuat keputusan-
keputusan yang tepat dalam kehidupan sehari-hari.
Hidayat (1996 dalam Fajar 2004) menambahkan bahwa istilah STS untuk
pertama kali diciptakan oleh John Ziman dalam bukunya “Teaching and Learning
About science and Society” pada tahun 1980. Dalam bukunya tersebut, Ziman
mencoba mengungkapkan bahwa konsep-konsep dan proses-proses sains seharusnya
sesuai dengan kehidupan siswa sehari-hari.
Menurut Yager (1996 dalam Fajar 2004), Program STS pada umumnya
memiliki karakteristik/ciri-ciri sebagai berikut :
1.
Identifikasi masalah-masalah setempat yang memiliki kepentingan
dan dampak.
2.
Penggunaan sumber daya setempat (manusia, benda, lingkungan)
untuk mencari informasi yang dapat digunakan dalam
memecahkan masalah.
3.
Keikutsertaan yang aktif dari siswa dalam mencari informasi yang
dapat diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
4.
Perpanjangan belajar di luar sekolah dan sekolah
5.
Fokus kepada dampak sains dan teknologi terhadap siswa
6.
Suatu pandangan bahwa isi dari pada sains bukan hanya konsep-
konsep saja yang harus dikuasai siswa dalam tes
7.
Penekanan pada keterampilan proses dimana siswa dapat
menggunakan dalam memecahkan masalah
8.
Penekanan pada kesadaran karir yang berkaitan dengan sains dan
teknologi
________________________________________
Page 7
7
9.
Kesempatan bagi siswa untuk berperan sebagai warga negara
dimana ia mencoba untuk memecahkan isu-isu yang telah
diidentifikasi
10.
Identifikasi bagaimana sains dan teknologi berdampak di masa
depan.
11.
Kebebasan atau otonomi dalam proses belajar
Poedjiadi (1994 dalam Fajar 2004) menjelaskan tentang hasil penelitian
National Science Taecher Association (NSTA) tahun 1985-1986 di Iowa Amerika
terhadap pelaksanaan program-program STS ditemukan adanya perbedaan antara
peserta didik yang mengikuti program STS dan yang tidak, antara lain di bawah ini :
CARA BIASA
STS
Kaitan dan Aplikasi Bahan Pelajaran
Peserta didik tidak melihat nilai dan/atau
manfaat yang mereka pelajari.
Peserta didik tidak dapat menghubungkan
sains yang dipelajari dengan teknologi masa
kini.
Kreativitas
Peserta didik kurang memiliki kemampuan
bertanya.
Peserta didik tidak efektif dalam
mengidentifikasi sebab-akibat dari situasi
tertentu.
Sikap
Peserta didik hanya memiliki sedikit ide-ide.
Minat peserta didik terhadap sains menurun
dengan menaiknya tingkat.
Sains menurunkan rasa ingin tahu.
Guru dianggap sebagai pemberi informasi.
Peserta didik melihat sains untuk dipelajari.
Peserta didik dapat menghubungkan yang
mereka pelajari dengan kehidupan sehari-
hari.
Peserta
didik
memperhatikan
perkembangan teknologi dan melalui fakta
tersebut malihat manfaat dan relevansi
konsep sains dengan teknologi.
Peserta didik lebih banyak bertanya, dan
seringkali memberikan pertanyaan yang di
luar dugaan guru.
Peserta
didik
terampil
dalam
mengidentifikasi kemungkinan penyebab
dan efek hasil observasi dan kegiatan
tertentu.
Peserta didik terus menerus memiliki ide-
ide.
Minat peserta didik bertambah dari tingkat
ke tingkat.
Peserta didik ingin tahu tentang dunia fisik.
Guru dianggap sebagai fasilitator.
Peserta didik melihat sains sebagai alat
untuk menyelesaikan masalah.
________________________________________
Page 8
8
Proses
Peserta didik melihat proses sains sebagai
keterampilan yang dimiliki ilmuwan.
Peserta didik melihat proses sains sebagai
sesuatu untuk dipraktekkan karena
merupakan syarat.
Pengetahuan/konsep
Pengetahuan
diperlukan
untuk
melaksanakan test.
Pengetahuan hanya dipandang sebagai hasil
belajar.
Retensi berlangsung singkat.
Peserta didik melihat proses sains sebagai
ketrampilan yang dapat mereka gunakan.
Peserta didik melihat proses sains sebagai
keterampilan yang perlu dikembangkan
untuk kebutuhan mereka sendiri.
Peserta didik melihat pengetahuan sains
sebagai sesuatu yang diperlukan.
Pengetahuan dipandang sebagai bekal untuk
menyelesaikan masalah.
Peserta didik lebih lama melupakan
informasi yang diperoleh, dan dapat
melaksanakan trsansfer belajar dengan baik.
Menurut NSTA Report (1991 dalam Rusmansyah 2001) Sains-Teknologi-
Masyarakat merupakan terjemahan dari Sains-Technogy-Society (STS), yaitu suatu
usaha untuk menyajikan Ilmu Pengetahuan Alam dengan mempergunakan masalah-
masalah dari dunia nyata. STM adalah suatu pendekatan yang mencakup seluruh
aspek pendidikan yaitu tujuan, topik/masalah yang akan dieksplorasi, strategi
pembelajaran, evaluasi, dan persiapan/kinerja guru. Pendekatan ini melibatkan siswa
dalam menentukan tujuan, prosedur pelaksanaan, pencarian informasi dan dalam
evaluasi. Tujuan utama pendekatan STM ini adalah untuk menghasilkan lulusan yang
cukup mempunyai bekal pengetahuan sehingga mampu mengambil keputusan
penting tentang masalah-masalah dalam masyarakat sehingga dapat mengambil
tindakan sehubungan dengan keputusan yang diambilnya.
Dalam kaitannya dengan bidang IPS, Aikenhead (1991 dalam Fajar 2004)
memberikan batasan society is the social milieu. Society merupakan lingkungan
pergaulan sosial serta kaidah-kaidah yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat.
Ryan (1992 dalam Fajar 2004) menguraikan pengaruh sains dan teknologi terhadap
________________________________________
Page 9
9
masyarakat (society), yaitu dalam tanggung jawab sosial, kontribusi terhadap
keputusan sosial, membentuk masalah sosial, menyelesaikan maslah praktis dan
sosial, serta kontribusi terhadap ekonomi, militer, dan berpikir sosial. Horton (1984)
mendefinisikan masyarakat sebagai suatu organisasi manusia yang saling
berhubungan satu sama lain.
Sejarah Sains-Teknologi-Masyarakat
Poedjiadi dalam Fajar (2004) menyatakan bahwa pada tahun 1985 telah
diperkenalkan program STS di Amerika, di depan peserta rapat Senat IKIP Bandung.
Dikemukakan bahwa di Amerika sejak tahun 1986 untuk mata pelajaran STS harus
diberikan di SMU dengan bobot 2 sks, sedangkan program pendidikan guru yang
telah dilaksanakan sebelumnya, STS dilaksanakan menggunakan topik-topik yang
dibahas melalui berbagai disiplin ilmu; misalnya dampak kebakaran hutan bagi
masyarakat, pangan dan kesehatan, transportasi, materi dan energi dalam kehidupan,
dan lain-lainnnya. Di Indonesia pada tahun 1993 oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dibentuk Satuan Tugas untuk mengembangkan literasi sains dan
teknologi masyarakat melalui pelaksanaan pendekatan STS dalam pendidikan.
Mengingat tidak adanya dana, maka pendekatan STS kemudian dikembangkan
melalui skripsi dan tesis di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Bahkan sejak tahun 2000 STS diberikan sebagai perkuliahan pada Program Pasca
Sarjana UPI Bandung program studi IPS dan sejak tahun 2001 diberikan pada
program studi Pendidikan Umum di universitas yang sama sampai saat ini.
Dari uraian di atas, Fajar (2004) mengasumsikan bahwa pada mulanya
pendekatan STS diperuntukkan bagi mata pelajaran IPA, tetapi pada perkembangan
________________________________________
Page 10
10
selanjutnya dikembangkan untuk mata pelajaran IPS. Pendekatan STS ini menurut
Fajar justru lebih menarik dan bervariasi diterapkan dalam pendidikan IPS, karena
banyaknya isu atau masalah di masyarakat yang sangat dekat dengan pendidikan IPS
itu sendiri. Untuk mengatasi isu atau masalah yang timbul di masyarakat tersebut
peserta didik dapat mengaplikasikan konsep dari pendidikan IPS yang telah
dipelajarinya dan sangat dimungkinkan dalam prosesnya terdapat keterkaitan dengan
aplikasi konsep dari pendidikan IPA.
Sains-Teknologi-Masyarakat bagi Ilmu Pengetahuan Sosial
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu bidang studi yang
dibangun dari integrasi beberapa ilmu sosial yaitu Ilmu Bumi atau Geografi,
Ekonomi, Sejarah, Sosiologi, dan Antropologi. Integrasi ilmu-ilmu tersebut memiliki
pertimbangan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik di SD akan
menghadapi fenomena-fenomena sosial yang sangat kompleks. Menurut Mulyasa
(2002), pengkajian akan fenomena sosial tidak dapat disikapi dari sudut pandang
ilmu geografi atau sejarah saja tetapi diperlukan ilmu-ilmu sosial lain seperti
Ekonomi, Antropologi, dan Sosiologi. Hal tersebut diperlukan karena dalam
kenyataanya, kegiatan manusia akan berdampak pada manusia yang lain serta
lingkungannya. Adanya saling ketergantungan satu dengan yang lain dan
membutuhkan untuk mempertahankan eksistensi hidupnya akan tetap ada. Sesuai
dengan fungsi dan tujuannya, Pengetahuan Sosial berfungsi mengembangkan
pengetahuan nilai dan sikap, serta keterampilan sosial peserta didik untuk dapat
menelaah masalah sosial yang dihadapi sehari-hari serta menumbuhkan rasa bangga
dan cinta terhadap perkembangan masyarakat Indonesia, sedangkan tujuannya agar
________________________________________
Page 11
11
peserta didik mampu mengembangkan pengetahuan, nilai, dan sikap serta
keterampilan sosial yang berguna bagi dirinya, untuk mengembangkan pemahaman
tentang pertumbuhan masyarakat Indonesia masa lampu hingga kini sehingga peserta
didik bangga sebagai bangsa Indonesia.
Berdasarkan hal-hal yang telah dikemaukakan di atas, Fajar (2004)
menyatakan bahwa IPS dapat mengcounter berbagai permaslahan sosial yang
ditimbulkan oleh perkembangan sains dan teknologi. Sains yang semula menakankan
pembelajaran konsep dan proses dengan lebih berpusat pada perkembangan aspek
kognitif memerlukan satu nilai aspek afektif berupa bentuk kepedulian terhadap
orang lain, lingkungan, dan teknologi sehingga dapat memilih mana dampak yang
positif dan dampak yang negatif.
Sependapat dengan ilustrasi yang disampaikan Fajar (2004) mengenai
Lingkungan Hidup, penulis mengilustrasikan untuk pembelajaran IPS di SD seperti
dibawah ini :
Materi : Lingkungan Hidup
A. Sains
Kajian yang dibahas :
a. Pengertian lingkungan hidup
b. Penyebab dan akibat dari adanya pencemaran lingkungan hidup.
c. Bagaimana mengatasi dan mengantisipasi agar pencemaran lingkungan hidup
dapat dikurangi
B. Teknologi
Kajian yang dibahas :
a. Alat apa yang digunakan untuk meyeimbangkan sistem itu
b. Bagaimana sifat alat tersebut
c. Bagaimana cara kerja alat tersebut
d. Bagaimana alat diproduksi dan dari mana bahan diperoleh
e. Bagaimanakah kualitas barang yang sesuai dengan dana yang tersedia
________________________________________
Page 12
12
C. Masyarakat
Kajian yang dibahas :
a. Sesuai atau tidak dana yang dikeluarkan dengan kerugian apabila masalah
tidak ditangani
b. Bagaimana kondisi wilayah dan penataannya
c. Bagaimana bentang lahannya (landscape)
d. Bagaimana hubungan antara lingkungan dengan penyebaran aktifitas manusia
e. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam melaksanakannya
Dari ilustrasi di atas, selanjutnya dalam kegiatan pembelajaran IPS, guru
mengajak siswa untuk mengamati kondisi kota yang tercemar tumpukan sampah dan
melihat tayangan masyarakat sekitar tumpukan sampah yang terjangkit penyakit
diare, disentri, dan kolera. Kemudian kegiatan di dalam sekolah seperti bagaimana
cara membuat lingkungan sekolah bersih, misalnya dengan membuang sampah pada
tempatnya. Kegiatan selanjutnya dilakukan kunjungan atau tayangan video pada
pabrik pengolahan limbah sampah. Dengan demikian siswa SD akan melihat secara
langsung teknologi bagaimana cara, alat, dan bahan apakah yang digunakan agar
sampah tidak sampai menimbulkan pencemaran.
Pembelajaran dengan pendekatan STM merupakan suatu bentuk
pembelajaran yang tidak hanya menekankan konsep-konsep sains yang biasa
digunakan dalam IPA. Walaupun sepintas terlihat bahwa sains dan teknologi lebih
cenderung untuk pembelajaran IPA, akan tetapi kajian tersebut tidak dapat lepas dari
peranan manusia. Peranan pendekatan STM dapat menjadi solusi dalam
pembelajaran IPS. IPA dan IPS bukanlah dikotomi karena kedua bidang tersebut
saling mendukung. Menurut Fajar (2004) pendekatan STM tidak perlu disusun dalam
pokok bahasan baru melainkan dapat disisipkan pada pokok bahasan yang telah ada
sehingga dapat memberikan gambaran yang utuh tentang berbagai aspek kehidupan
manusia.
________________________________________
Page 13
13
Pendekatan STM dapat diimplementasikan pada pembelajaran IPS dengan
menekankan pada peran ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam berbagai
kehidupan dan menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial terhadap dampak ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berkembang di masyarakat. Berangkat dari isu-isu
sosial yang berkembang pada masyarakat dan kehidupan sehari-hari itu, siswa
Sekolah Dasar bersama dengan guru dapat selalu mengkaji fenomena sosial,
merasakan dampak positif maupun negatif adanya teknologi, dan mengenal nilai
yang dianut dalam masyarakat.
Penutup
Pendekatan STM bagi pembelajaran IPS di SD akan sangat bermanfaat bagi
para guru dan peserta didik dalam menciptakan kondisi belajar yang lebih aktif dan
variatif dengan mengembangkan rasa peduli terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dengan pendektan STM pula, peserta didik akan mampu
mengambil keputusan yang tepat saat menghadapi masalah berkaitan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hal ini karena hidup ini memang tidak dapat dipisahkan
dengan teknologi, sedangkan teknologi merupakan hasil dari ilmu pengetahuan.
Seperti yang diungkapkan oleh Fajar (2004), pendekatan STM ini sesuai dengan
hakekat Kurikulum Berbasis Kompetensi 2001 yaitu merupakan upaya untuk
menyiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan intelektual, emosional,
spiritual, dan sosial yang tinggi. Sebagai harapan, pendekatan STM bagi
pembelajaran IPS di SD akan mampu melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya
peduli Iptek tetapi juga mampu mengembangkan kepekaan akan dampak Iptek pada
masyarakat dimasa yang akan datang. Hal ini sesuai dengan visi mikro pendidikan
________________________________________
Page 14
14
nasional yaitu terwujudnya individu manusia baru yang memiliki sikap dan wawasan
keimanan dan akhlak yang tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan
menjunjung hak asasi manusia, saling pengertian dan berwawasan global.
Daftar Pustaka
Djojo Suradisastra. (1991). Pendidikan IPS III. Jakarta : Depdikbud.
Fajar, Arnie. (2004). Portofolio dalam Pembelajaran IPS. Rosda Karya. Bandung:
Penerbit Rosda Karya.
Horton, Paul B. (1984). Sociology. McGraw-Hill, Inc.
Iskandar, L. (1996). Pelajaran Geografi 1 berdasarkan Kurikulum 1994 untuk Kelas
1 SMU, Bandung : Penerbit Pakar Raya.
Mulyasa, E. (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Penerbit Rosda
Karya.
Nurdin, S. (2005). Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat dalam
Meningkatkan
Hasil
Belajar
IPS
SD.
Jurnal.
http://ppsupi.org/abstrakips2005.html.
Prayekti. (2001). Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat tentang Konsep Pesawat
Sederhana dalam Pembelajaran IPA di Kelas 5 Sekolah Dasar. Jurnal.
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/29/editorial.htm - 35k -
Rusmansyah, Irhasyuarna, Y. (2001). Implementasi Pendekatan Sains-Teknologi-
Masyarakat (STM) dalam Pembelajaran Kimia di SMU N Banjarmasin.
Jurnal. http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/40/editorial40.htm - 34k -
Somantri, M. Numan. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS.Bandung :
Penerbit Rosda Karya.



1. Pengertian Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM)

Pendekatan (STM) Sains Teknologi Masyarakat merupakan terjemahan dari science technology and society approach (STS) yang merupakan pendekatan pembelajaran, dikembangkan berdasarkan pada filosofis kontruktivisme. Pendekatan pembelajaran tersebut telah berkembang pesat di Amerika dan Inggris sejak awal tahun 1970-an. Pendekatan STM ( Sains Teknologi Masyarakat ) didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan Sains Teknologi Masyarakat (STM) ini baru diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun 1990-an yang telah diuji coba dan dilakukan di berbagai sekolah di Jawa Barat dan daerah lain di Indonesiaaaa (http://pelangi.dit-pp.go.id).


Sedangkan menurut para tokoh lain bahwa pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran kontekstual yang dapat membantu siswa untuk membuat pelajaran menjadi lebih berarti. Karena di dalam Sains Teknologi Masyarakat (STM) ini berkatain dengankehidupan yang nyata, dimana dalam pembelajaran yang bersumber dari pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) disini siswa memilik perasaan, perhatian, kemauan, ingatan dan pikiran yang mengalami perubahan berkat pengalaman hidup. Pengalaman dengan teman sebayanya berpengaruh kepada kemampuan menyerap dan perilaku belajar. Lingkungan siswa yang berupa lingkungan alam, lingkungan tempat tinggal, dan pergaulan juga mengalami perubahan lingkungan budaya siswa yang berupa surat kabar, majalah, radio, televisi dan film semakin menjangkau siswa ke semua lingkungan tersebut mendinamiskan motivasi belajar.

Kegiatan pembelajaran dimaksudkan agar tercipta kondisi yang memungkinkan terjadinya belajar pada diri siswa. Dalam suatu kegiatan pembelajaran dapat dikatakan terjadi belaajr, apabila terjadi prsoes perubahan perilaku pada diri siswa sebagai hasil dari suatu pengalaman.

Dari penjelasan di atas dapat dijelaskan beberapa penerapan dalam kegiatan pembelajaran:
a. Percepatan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi

Percepatan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi ini tidak memungkinkan bagi guru bertindak sebagai satu-satunya orang yang menyalurkan semua fakta dan teori. Untuk mengatasi hal-hal ini maka perlu pengembangan keterampilan memperoleh dan memproses semua fakta, konsep dan prinsip pada diri siswa.

b. Pengalaman intelektual, emosional dan fisik

Pengalaman ini dibutuhkan agar didapatkan hasil belajar yang optimal. Ini berarti kegiatan pembelajaran yang mampu memberi kesempatan kepada siswa memperlihatkan unjuk kerja melalui sejumlah keterampilan memproses semua fakta, konsep dan prinsip sangat dibutuhkan.

c. Penanaman sikap dan nilai sebagai pengabdi

Hal ini menuntut adanya pengenalan terhadap tata cara memproses dan memperoleh kebenaran ilmu yang bersifat kesementaraan. Hal ini akan mengarahkan siswa pada kesadaran keterbatasan manusiawi dan keunggulan manusiawi, apabila dibandingkan dengan keterbatasan dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi (Dimyati dan Mudjiono, 2006 : 135 – 138).
Menurut Anwariyah dalam Munawarah (2002 : 5) ada empat macam penerapan Sains Teknologi Masyarakat (STM) dala pembelajaran yaitu:
1. menyadari hubungan yang kompleks antara ilmu, teknologi dan masyarakat
2. mengerti dan mampu mengadaptasikan diri dengan berbagai perubahan besar sebagai akibat perkembangan IPTEK serta dampak-dampak bagi individu dan masyarakat.
3. Mampu membuat keputusan yang tepat mengenai penggunaan teknologi dala masyarakat khususnya yang melibatkan unsur-unsur sosial, seperti lingkungan, energi, kependudukan, bio genetika, teknologi, maknan, transportasi dan lain-lain.
4. secara realistik dapat memproyeksikan alternatif masa depan beserta konsekwensi positif dan negatifnya.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu, di bidang ilmu pendidikan dikembangkan pula berbagai metode mengajar yang lebih sesuai, efektif dan efisien. Materi pelajaranpun dikembangkan karena telah banyak perubahan yang terjadi atau telah banyak ditemukan pengetahuan yang lebih mendalam sebagai akibat dari perkembangan teknologi.
1. Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan harus dapat mempergunakan sumber-sumber pengetahuan yang ada di masyarakat karena:dengan melihat apa yang terjadi di masyarakat anak didik akan mendapatkan pengalaman langsung (first hand experience) dan oleh karenanya mereka dapat memiliki pengalaman yang konkret (jelas dan nyata) serta mudah diingat.
2. pendidikan membina anak-anak yang berasal dari masyarakat, dan akan kembali ke masyarakat.
3. di masyarakat banyak sumber pengetahuan yang mungkin guru sendiri belum mengetahuinya.
4. kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan orang-orang yang berdidik dan anak didikpun membutuhkan masyarakat (Munawarah, 2004 : 6-7).

2. Keunggulan Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM)

Menurut Wahyudi, dkk dalam Munawarah (2004 : 7) ada beberapa keunggulan yang dapat diperoleh dari pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) yaitu:

a. Keunggulan pendekatan STM jika ditinjau dari segi tujuan
• meningkatkan keterampilan inquiry dan pemecahan, di samping keterampilan proses.
• Menekankan cara belajar yang baik yang mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
• Menekankan sains dalam keterpaduan dan antara bidang studi.

b. Keunggulan pendekatan STM jika ditinjau dari segi pembelajaran
• menekankan keberhasilan siswa
• menggunakan berbagai strategi
• menyadarkan guru bahwa kadang-kadang dirinya tidak selalu berfungsi sebagai sumber informasi.

c. Keunggulan pendekatan STM ditinjau dari segi evaluasi
• ada hubungan antara tujuan, proses dan hasil belajar
• perbedaan antara kecakapan, kematangan serta latar belakang siswa juga diperhatikan.
• kualitas efisiensi dan keefektifan serta fungsi program juga dievaluasi.
• Guru juga termasuk yang dievaluasi usahanya yang terus menerus dalam membantu siswa.

3. Langkah-langkah Penerapan Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM)

Ada bebrapa tahapan yang dapat dilakukan oleh guru dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM), yaitu:
• Tahap apersepsi (inisiasi, invitasi dan eksplorasi) yang mengemukakan isu atau masalah aktual yang ada di masyarakat dan dapat diamati oleh siswa.
• Dalam pembentukan konsep yang siswa membangun atau mengkonstruksikan pengetahuan sendiri melalui observasi, eksperimen, dan diskusi.
• Tahap aplikasi konsep atau menyelesaikan masalah yang menganalisis masalah atau isu yang telah dikemukakan di awal pembelajaran berdasarkan konsep yang telah dipahami sebelumnya.
• Tahap pemantapan konsep, di mana guru memberi pemantapan konsep agar tidak terjadi kesalahan konsep pada siswa.
• Tahap evaluasi penggunaan tes untuk mengetahui penguasaan konsep siswa terhadap materi yang dikaji (www.dunia guru com.)


1. Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (S-T-M)
Makalah Pendidikan Disampaikan dalam Perkuliahan Pengembangan Bahan Ajar Biologi Sekolah Lanjutan di Sekolah Pascasarjana UPI Tahun 2007

ABSTRAK

Penemuan teknologi membawa dampak pada lahirnya konsep, teori, serta hukum sains. Begitupula konsep sains, teori serta hukum yang dikemukakan oleh ilmuwan membawa dampak pada penemuan teknologi. Sains Teknologi Masyarakat adalah untuk menyediakan siswa koneksi yang nyata dengan kelas dan masyarakat sehingga tepat untuk mempersiapkan peserta didik ketika berhadapan dengan berbagai perkembangan sains dan teknologi di lingkungannya. Program S-T-M memiliki karakteristika yaitu, identifikasi masalah-masalah setempat/lokal yang memiliki kepentingan dan dampak, penggunaan sumber daya setempat/lokal (manusia dan benda) untuk mencari informasi yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah, keikutsertaan yang aktif dari siswa dalam mencari informasi yang dapat diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari, penambahan/perpanjangan belajar di luar kelas dan sekolah, fokus kepada dampak dari sains dan teknologi terhadap siswa, suatu pandangan bahwa konten sains bukan hanya konsep-konsep yang harus dikuasai siswa dalam tes, penekanan dalam keterampilan proses dimana siswa dapat menggunakannya dalam memecahkan masalah, penekanan pada kesadaran karir yang berkaitan dengan sains dan teknologi, kesempatan bagi siswa untuk mencoba berperan sebagai warga negara atau anggota masyarakat dimana ia mencoba untuk memecahkan isu-isu yang telah diidentifikasi, identifikasi dampak sains dan teknologi di masa depan, kebebasan atau otonomi dalam proses belajar. Untuk lebih mengaktualisasikan penggunaan pendekatan S-T-M dalam pembelajaran IPA, maka dilaksanakan dalam tahapan-tahapan, dimulai dengan tahap inisiasi, tahap pembentukan konsep, tahap aplikasi konsep, tahap pemantapan konsep, tahap pelaksanaan evaluasi.


A. PENDAHULUAN
Dewasa ini, kata pengetahuan dan teknologi begitu familiar dalam kehidupan sehari-hari sehingga memunculkan akronim IPTEK dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan sains merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, science. Dari segi etimologi, science berasal dari kata scientia, yang mengandung arti pengetahuan (Poedjiadi, 1987). Menurut filsafat ilmu, pengetahuan yang terkoordinasi, terstruktur dan sistematik disebut ilmu. Pengertian sains dibatasi hanya pada pengetahuan yang positif, artinya yang hanya dapat dijangkau oleh panca indera kita (Poedjiadi, 2005). Pada mulanya ilmu hanya berkaitan dengan alam, namun dalam pemaparan selanjutnya akan dikemukakan bahwa ilmu dalam perkembangannya juga berkaitan dengan masyarakat.

Hampir setiap segi kehidupan kita terkait dengan teknologi. Sejak bangun tidur di pagi hari kita melihat jam dinding untuk mengetahui waktu dengan tepat agar kita tidak terlambat melakukan kegiatan yang telah dijadwalkan. Jam dinding, pakaian, alat transportasi adalah hasil kegiatan manusia yang ditujukan untuk mempermudah kita dalam melakukan tugas sehari-hari. Teknologi lahir karena adanya kebutuhan manusia. Dengan kata lain, kegiatan teknologi bermula dari adanya masalah-masalah yang sedang dihadapi manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan dan alamnya. Di lain pihak, sains berawal dari adanya sifat ingin tahu manusia dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan tentang dunia kealaman (natural world). (Poedjiadi, 2005; Trowbridge & Bybee dan Yager dalam Toharudin, 2007).

Penelitian tentang struktur membran yang dilakukan menggunakan mikroskop elektron telah dapat menjelaskan senyawa-senyawa kimia penyusun membran sel. Penggunaan mikroskop elektron mampu membantu penyelidikan terhadap bakteri dan virus yang berukuran mikro. Hal ini tentu pada mulanya didorong oleh adanya kebutuhan manusia terhadap suatu instrumen yang dapat mempermudah pengamatan jasad-jasad renik. Setelah tahun 1950, mikroskop elektron merupakan salah satu alat yang paling penting bagi kemajuan dan perkembangan biologi.

Contoh tersebut menunjukkan kepada kita bahwa penemuan teknologi membawa dampak pada lahirnya konsep, teori, serta hukum sains. Begitupula bahwa konsep sains, teori serta hukum yang dikemukakan oleh ilmuwan membawa dampak pada penemuan teknologi (Poedjiadi, 2005). Penemuan teknologi ini berwujud terciptanya alat-alat baru maupun penyempurnaan alat-alat lama. Penemuan maupun penyempurnaan alat ini berdampak pula bagi penemuan dan pengembangan sains. Dengan demikian, kaitan antara sains dan teknologi merupakan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.

Teknologi lahir tentunya disebabkan adanya kebutuhan masyarakat. Namun penggunaan produk teknologi sangat memerlukan kesiapan masyarakat sebagai pengguna produk tersebut. Apabila masyarakat pengguna kurang siap, maka kegunaan atau manfaat produk teknologi kurang optimal. Hal ini berarti tujuan diciptakannya produk teknologi tersebut tidak tercapai. Kesiapan yang harus dimiliki oleh pengguna suatu produk teknologi adalah kesiapan mental untuk tidak menggunakan produk teknologi untuk tujuan yang dampaknya merugikan orang atau masyarakat. Sains merupakan komponen krusial yang dapat membantu kesiapan pengetahuan masyarakat tentang produk teknologi. Di samping itu, sains juga dapat berperan dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penggunaan sumber daya alam atau meningkatkan pemahaman masyarakat tentang gejala alam dalam kehidupan sehari-hari (Poedjiadi, 2005).


B. SAINS-TEKNOLOGI-MASYARAKAT
1. Sejarah Perkembangan S-T-M
Sains Teknologi Masyarakat (S-T-M) merupakan alihan dari Science Technology Society (S-T-S). Ide dibalik program STS adalah untuk menyediakan siswa koneksi yang nyata dengan kelas dan masyarakat (King, -). S-T-S telah menjadi gerakan pendidikan sains di Amerika Serikat sebagai respon terhadap kondisi dan situasi pendidikan sains pada saat itu yang kurang optimal dalam mempersiapkan peserta didik untuk berhadapan dengan berbagai perkembangan sains dan teknologi di lingkungannya.

Istilah S-T-S untuk pertama kali diciptakan oleh John Ziman dalam bukunya “Teaching and Learning About Science and Society”. Ziman mencoba mengungkapkan bahwa konsep-konsep dan proses-proses sains yang diajarkan seharusnya relevan dengan kehidupan siswa sehari-hari (Galib, 2001).
The National Science Teachers Association (NSTA), mendefinisikan S-T-M sebagai belajar dan mengajar sains dalam konteks pengalaman manusia. Yager et.al (Sukri, 2000), mendefinisikan S-T-M mencakup tujuan, kurikulum, asessmen dan khususnya mengenai pengajaran. Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para tokoh, pada prinsipnya yang menjadi dasar apa yang dilakukan oleh program S-T-M adalah menghasilkan warga negara yang memiliki pengetahuan yang cakap sehingga mampu membuat keputusan-keputusan yang krusial (kreatif dan strategis) tentang masalah dan isu-isu mutakhir dan mengambil tindakan sesuai dengan keputusan yang dibuatnya tersebut (Gilberti, -).

Yager dan Roy (Galib, 2001) menyatakan sejarah singkat S-T-S sebagai berikut. Mulai tahun 1970, beberapa universitas di AS, --- Cornell, Penn State, Stanford, dan SUNY-Stock Brook --- secara resmi memulai program yang menawarkan pelajaran pada bidang studi yang sekarang disebut STS/S-T-M. Hal yang sama juga dilakukan konsorsium universitas di Inggris. Kemudian secara berangsur beberapa negara dan lembaga lain bekerja sama, menjadi penelitian utama universitas, dan sekitar 100 lembaga menjadikan S-T-M sebagai bidang akademik. Sebagai suatu momentum perkembangan S-T-M, pada tahun 1977 muncul sebuah proyek yang disebut Norris Harms’ Project Synthesis dengan empat tujuan utama, yaitu: (1) mempersiapkan siswa untuk menggunakan sains bagi pengembangan hidup dan mengikuti perkembangan dunia teknologi; (2) mengajar para siswa untuk mengambil tanggung jawab dengan isu-isu teknologi/masyarakat; (3) mengidentifikasi tubuh pengetahuan fundamental sehingga siswa secara tuntas memperoleh kepandaian dengan isu-isu S-T-M; dan (4) memberikan suatu gambaran yang akurat kepada siswa tentang peersyaratan dan kesempatan dalam karir yang tersedia dalam bidang S-T-M.

Setelah proyek tersebut dilaporkan pada tahun 1981 (Harms dan Yager dalam Galib, 2001), NSTA berinisiatif melakukan suatu penelitian untuk meningkatkan mutu program pendidikan sains. Dalam hal itu, S-T-M merupakan salah satu bidang penelitian awal pada tahun 1982-1983 dan juga tahun 1986. Sejak itu, secara nasional merupakan upaya awal, S-T-M menjadi fokus bagi sekolah sains--- adalah suatu bidang untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan baru, kurikulum baru, modul-modul, strategi pembelajaran yang baru, dan bentuk-bentuk baru untuk evaluasi. Hal itu telah digunakan dalam pembaruan pendidikan sains di Iowa sejak dimulai suatu program Chautauqua NSTA-NSF pada tahun 1983 (Yager dalam King, -). Dan sekarang, sudah lebih dari 1.700 guru, khususnya pada kelas 4-9 telah mengembangkan dan memperkenalkan modul-modul S-T-M dalam ruang kelas sains mereka. Dalam tahun 1990 di AS, S-T-M telah diperkenalkan pada 2000 fakultas dan 1000 SLTA dalam bentuk pelajaran (Harms dan Yager dalam Galib, 2001).

Program S-T-M memiliki 11 karakteristik (Yager dalam Sukri, 2000) :
1. Identifikasi masalah-masalah setempat/lokal yang memiliki kepentingan dan dampak.
2. Penggunaan sumber daya setempat/lokal (manusia dan benda) untuk mencari informasi yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah.
3. Keikutsertaan yang aktif dari siswa dalam mencari informasi yang dapat diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari.
4. Penambahan/perpanjangan belajar di luar kelas dan sekolah.
5. Fokus kepada dampak dari sains dan teknologi terhadap siswa.
6. Suatu pandangan bahwa konten sains bukan hanya konsep-konsep yang harus dikuasai siswa dalam tes.
7. Penekanan dalam keterampilan proses dimana siswa dapat menggunakannya dalam memecahkan masalah.
8. Penekanan pada kesadaran karir yang berkaitan dengan sains dan teknologi.
9. Kesempatan bagi siswa untuk mencoba berperan sebagai warga negara atau anggota masyarakat dimana ia mencoba untuk memecahkan isu-isu yang telah diidentifikasi
10. Identifikasi dampak sains dan teknologi di masa depan.
11. Kebebasan atau otonomi dalam proses belajar.
S-T-M menyediakan arahan-arahan untuk mencapai literasi sains dan teknologi untuk semua orang dan S-T-M sebagai perekat yang mempersatukan sains/IPA, teknologi, dan masyarakat secara bersama-sama (Hidayat dalam Sukri, 2000).

2. Teori Belajar Konstruktivisme Mendasari Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (S-T-M)
Teori belajar sebagai dasar bagaimana terjadinya belajar atau bagaimana informasi diperoleh siswa dan bagaimana informasi diproses di dalam pikiran siswa itu harus dipahami dan diterima secara benar oleh seorang guru. Berlandaskan suatu teori belajar, diharapkan suatu pembelajaran dapat lebih meningkatkan perolehan siswa sebagai hasil belajar.

Gagne (Sukri, 2000) menyatakan untuk terjadi belajar pada diri siswa diperlukan kondisi belajar, baik kondisi internal maupun eksternal. Kondisi internal merupakan peningkatan (arising) memori siswa sebagai hasil belajar terdahulu. Memori siswa yang terdahulu merupakan komponen kemampuan yang baru, dan ditempatkannya bersama-sama. Kondisi eksternal meliputi aspek atau benda yang dirancang atau ditata dalam suatu pembelajaran. Sebagai hasil belajar (learning outcomes), Gagne menyatakannya dalam lima kelompok, yaitu intelectual skill, cognitive strategy, verbal information, motor skill, dan attitude.

Gagne menekankan pentingnya kondisi internal dan kondisi eksternal dalam suatu pembelajaran, agar siswa memperoleh hasil belajar yang diharapkan. Dengan demikian, sebaiknya guru memperhatikan atau menata pembelajaran yang memungkinkan mengaktifkan memori siswa yang sesuai agar informasi yang baru dapat dipahaminya. Kondisi eksternal bertujuan antara lain merangsang ingatan siswa, penginformasian tujuan pembelajaran, membimbing siswa mempelajari materi yang baru, memberikan kesempatan pada siswa menghubungkan dengan informasi yang baru.

Menurut Yager (Sukri, 2000), pendekatan S-T-M sejalan dengan pelaksanaan konstruktivisme dalam pembelajaran. Menerapkan konstruktivisme dalam pembelajaran, berarti menempatkan siswa pada posisi sentral dalam keseluruhan program pengajaran. Pertanyaan yang muncul digunakan sebagai dasar diskusi, investigasi, dan kegiatan kelas/laboratorium. Pendekatan S-T-M sangat memperhatikan hal-hal tersebut, bahkan memberikan kesempatan kepada siswa sebagai pengambil keputusan, di samping kesadaran pada pengembangan karir.

Secara konseptual, pendekatan S-T-M dapat dikaitkan dengan asumsi bahwa sains dan teknologi memiliki keterkaitan timbal balik, saling mengisi, saling tergantung, dan saling mempengaruhi dalam mempertemukan antara permintaan dan kebutuhan manusia serta membuat kehidupan masyarakat lebih baik dan mudah.
Selanjutnya Hungerford, Volk & Ramsey (Galib, 2001) menggambarkan keterkaitan sains, teknologi, dan masyarakat dalam suatu paradigma interaksi seperti terlihat pada gambar berikut.
Gambar 1. Interaksi Sains-Teknologi-Masyarakat

Gambar di atas menunjukkan bahwa sains-teknologi-masyarakat sangat erat keterkaitannya. Dalam hal itu, Dimyati (Galib, 2001) menyatakan bahwa teknologi dan sains tidak pernah terpisah. Karena itu, menurut Hoolbrool, memahami sains hanya sebagai suatu kesatuan konsep-konsep atau prinsip-prinsip, berarti memisahkan sains dari teknologi, dan sains hanya dipandang sebagai ilmu murni ketimbang sebagai mata pelajaran yang dapat diterapkan. Pernyataan tersebut mengandung suatu makna bahwa siswa yang telah belajar konsep-konsep sains perlu didorong untuk menggunakan/menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, misalnya untuk menghasilkan teknologi dan menjelaskan fenomena/peristiwa-peristiwa alam yang dijumpai.

Pendekatan S-T-M merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan permasalahan seperti yang dihadapi dunia pendidikan saat ini. Pendekatan yang menampilkan peranan sains dan teknologi di dalam kehidupan masyarakat karena pendidikan sains dengan pendekatan S-T-M akan memberikan keuntungan kepada para siswa yang ingin meningkatkan literasi sains, perhatian terhadap sains dan teknologi serta perhatian terhadap interaksi antara sains, teknologi dan masyarakat. Keunggulan pendekatan S-T-M ditinjau dari beberapa segi (Wahyudi et. al dalam Sukri, 2000):
2. Dari segi tujuan: (1) meningkatkan keterampilan proses sains, keterampilan inkuiri dan pemecahan masalah; (2) menekankan cara belajar yang baik yang mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotorik; (3) menekankan sains dalam keterpaduan inter dan intra bidang studi.
3. Dari segi pembelajaran: (1) menekankan keberhasilan siswa; (2) menggunakan berbagai strategi; (3) menggunakan berbagai sumber informasi, kerja lapangan, studi mandiri serta interaksi antara manusia secara optimal.
4. Dari segi guru: (1) mempunyai pandangan yang luas mengenai sains; (2) mengajar dengan berbagai strategi baru di dalam kelas, sehingga memahami tentang kecakapan dan kematangan serta latar belakang siswa; (3) menyadarkan guru bahwa terkadang dirinya tidak selalu berfungsi sebagai sumber informasi.
5. Dari segi evaluasi: (1) ada hubungan antara tujuan, proses dan hasil belajar; (2) perbedaan antara kecakapan dan kematangan serta latar belakang siswa juga diperhatikan; (3) kualitas, efisiensi, dan keefektivan serta fungsi program juga dievaluasi; (4) guru juga termasuk yang dievaluasi usahanya yang terus menerus membantu siswa.

Yager (Sukri, 2000) mengajukan empat tahap strategi dalam pembelajaran dengan memperhatikan konstruktivisme. Pertama, invitasi, meliputi: mengamati hal yang menarik di sekitar, mengajukan pertanyaan; Kedua, eksplorasi, meliputi: sumbang saran alternatif yang sesuai tentang informasi yang akan dicari, mengobservasi fenomena khusus, mengumpulkan data, pemecahan masalah, analisis data; Ketiga, pengajuan penjelasan dan solusi, meliputi: menyampaikan gagasan, menyusun model, membuat penjelasan baru, membuat solusi, memadukan solusi dengan teori dan pengalaman; Keempat, menentukan langkah, meliputi: membuat keputusan, menggunakan pengetahuan dan keterampilan, berbagi informasi dan gagasan, mengajukan pertanyaan lanjutan, yaitu membuat saran kegiatan positif baik individu maupun masyarakat. Hal-hal tersebut diterapkan dalam pendekatan S-T-M.

3. Pendekatan S-T-M Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Sikap Kepedulian Siswa serta Kreatifitas Siswa
Kemampuan untuk memahami produk-produk sains dan menggunakan produk teknologi secara singkat disebut literasi sains dan teknologi. Secara harfiah literasi berarti melek, lebih luas dapat diartikan dalam memahami, mengerti , dan sadar akan keberadaan sains dan teknologi, serta sikap, apresiasi, nilai , dan estetika (Sukri, 2000).

Poedjiadi (1994) menyatakan litarasi sains dan teknologi sebagai suatu kemampuan yang dapat menyelesaikan masalah dengan konsep sains, mengenal teknologi berserta dampak yang ditimbulkannya, mampu menggunakan produk teknologi dan memeliharanya, kreatif merancang dan hasil teknologi yang sederhana, dan mampu mengambil keputusan berdasarkan nilai.

Collette dan Chiapetta (Sukri, 2000) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan memiliki literasi sains apabila ia memiliki:
1. Pengetahuan cukup tentang fakta, konsep, teori sains dan kemampuan untuk mengaplikasikannya.
2. Pemahaman tentang sains dan hakekat sains.
3. Sikap positif terhadap sains dan teknologi.
4. Apresiasi terhadap nilai sains dan teknologi dalam masyarakat dan pengetahuan tentang bagaimana sains, teknologi dan masyarakat saling memepengaruhi.
5. Kemampuan menggunakan proses sains untuk menyelesaikan maslah dan mengambil keputusan sehari-hari.
6. Kemampuan membuat keputusan berdasarkan nilai tentang isu-isu masyarakat.
7. Kemampuan keterampilan proses sains untuk dapat diaplikasikan dalam bekerja dan dapat berperan dalam masyarakat.
8. Pandangan dan pemahaman yang lebih baik terhadap lingkungannya karena ada pembelajaran sains di sekolah.

Dari uraian di atas ternyata unsur teknologi sudah terkait dalam istilah literasi sains. Karakteristik seseorang literat teknologi menurut Poedjiadi (1994) antara lain: tahu menggunakan produk teknologi dan memeliharanya, sadar tentang proses teknologi dan prinsipnya, sadar tentang akibat teknologi terhadap manusia dan masyarakat, mampu mengevaluasi proses dan produk teknologi, mampu membuat hasil teknologi alternatif yang disederhanakan.

Dalam pembelajaran IPA, salah satu pendekatan yang selalu mengacu pada isu lingkungan serta dapat mengembangkan literasi sains dan teknologi dan meningkatkan sikap serta kreativitas adalah pendekatan S-T-M. Pendekatan yang dikembangkan dari teori belajar konstruktivisme yang pada pokoknya menggambarkan bahwa peserta didik membentuk dan membangun pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungannya (Bell dalam Sukri, 2000).

Dengan model pembelajaran S-T-M ini siswa diberi kesempatan sebanyak-banyaknya untuk memperoleh pengalaman nyata, mengembangkan gagasannya sehingga siswa diharapkan akan terbiasa sekaligus mampu membangun pengetahuannya sendiri secara aktif tentang fenomena alam yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk lebih mengaktualisasikan penggunaan pendekatan S-T-M dalam pembelajaran IPA, maka Poedjiadi (2005) menyarankan:
1. Mula-mula guru mengemukakan isu-isu atau masalah aktual yang ada di masyarakat dan dapat diamati peserta didik. Juga bisa digali dari pendapat siswa dan dikaitkan dengan konsep yang akan dibahas, tahap ini disebut inisiasi, apersepsi, invitasi, atau eksplorasi.
2. Melaksanakan pembelajaran dengan strategi tertentu yang sesuai dengan pedagogi (ilmu dan seni mengajar), tahap ini disebut pembentukan konsep dan menurut konstruktivisme diharapkan siswa membangun atau mengkonstruk sendiri melalui observasi, eksperimen, dan lain-lain.
3. Konsep yang sudah dipahami digunakan untuk menyelesaikan masalah atau menganalisa isu yang telah dilontarkan diawal pembelajaran, tahap ini disebut aplikasi konsep.
4. Guru memantapkan konsep diharapkan dapat merekonstruksi atau merestrukturisasi konsep siswa yang salah, tahap ini disebut pemantapan konsep.
5. Tahap pelaksanaan evaluasi yang hendaknya secara berkelanjutan dan mencakup berbagai aspek (dalam hal ini termasuk sikap).

Para siswa yang talah mengalami pembelajaran sains dengan S-T-M nampak memperlihatkan domain hubungan dan aplikasi, kreatifitas, sikap, proses dan pengetahuan yang meningkat. Domain dari pengajaran sains dengan pendekatan S-T-M (Hidayat dalam Sukri) adalah:
1. Domain hubungan dan aplikasi: (1) siswa dapat menghubungkan studi sains mereka dengan kehidupan sehari-hari; (2) siswa terlibat dalam memecahkan isu-isu sosial, mereka melihat relevansi dari studi sains mereka untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai warganegara; (3) para siswa mencari informasi dan menggunakannya; (4) para siswa turut terlibat dalam perkembangan teknologi serta menggunakannya untuk melihat kepentingan dan relevansi dari konsep-konsep sains
2. Domain kreativitas: (1) para siswa lebih banyak bertanya, pertanyaan-pertanyaan itu digunakan untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan dan materi S-T-M; (2) para siswa sering mengajukan pertanyaan–pertanyaan yang unik yang memacu minat mereka sendiri dan guru; (3) para siswa terampil dalam mengajukan sebab dan akibat dari hasil pengamatannya; (4) nampaknya para siswa penuh dengan ide-ide murni.
3. Domain sikap: (1) minat siswa meningkat dalam pelajaran khusus dari kelas yang satu ke kelas berikutnya; (2) para siswa lebih ingin tahu tentang segala sesuatu yang ada di dunia ini; (3) para siswa memandang guru sebagai fasilitator; (4) para siswa memandang sains sebagai cara untuk menangani masalah-masalah.
4. Domain proses: (1) para siswa melihat proses sains sebagai keterampilan yang dapat mereka gunakan; (2) para siswa melihat proses sebagai keterampilan yang mereka butuhkan untuk menyempurnakan, mengembangkannya agar lebih mantap untuk kepentingan mereka sendiri; (3) siswa-siswa siap melihat hubungan dari proses-proses sains kepada aksi mereka sendiri; (4) para siswa melihat proses sebagai bagian yang vital dari apa yang mereka lakukan dalam pelajaran sains.
5. Domain pengetahuan: (1) siswa melihat pengetahuan sebagia hal yang berguna bagi dirinya sendiri; (2) pengetahuan dilihat sebagai suatu komoditi yang diperlukan untuk berhubungan dengan masalah-masalah; (3) belajar terjadi karena aktifitas merupakan kejadian yang penting, dan bukan merupakan fokus dari kejadian itu sendiri; (4) siswa yang belajar dari pengalaman dapat mengendapkannya untuk waktu yang cukup lama dan sering dapat menghubungkannya kepada situasi-situasi baru.

Berdasarkan dari kelebihan-kelebihan pendekatan S-T-M ini diharapkan bila pendekatan tersebut diterapkan secara benar akan berpeluang meningkatkan literasi sains dan teknologi siswa meningkatkan kemampuan berpikir kritis, bernalar logis kreatifitas, mampu memecahkan masalah yang ada di lingkungan, dan dapat mengambil keputusan untuk masalah yang menyangkut sains, teknologi, dan masyarakat (King, -).

4. Model Pembelajaran S-T-M
Dalam tahun 1985 saat S-T-M dalam pembelajaran sains diperkenalkan di Bandung, ditekankan bahwa S-T-M pada saat itu tidak bisa dijadikan sebagai suatu mata pelajaran tersendiri karena pokok bahasan dalam pembelajaran sains sudah terlalu padat. S-T-M cukup dijadikan sebagai pendekatan saja dalam pembelajaran sains yang mengacu pada Garis-garis Besar Program Pengajaran dan dipilih melalui pokok bahasan yang sesuai saja (Poedjiadi, 2005).

Namun, S-T-M dapat saja diangkat sebagai suatu program pembelajaran atau mata pelajaran tersendiri bagi para siswa yang di Sekolah Menengah Atas sudah memilih jurusan IPS di SMA, yakni siswa kelas XI dan kelas XII, diberi mata pelajaran sains yang terkait dengan teknologi dan manfaatnya bagi masyarakat dengan nama Sains-Teknologi-Masyarakat, atau apapun namanya. Justru melalui tema-tema tertentu yang dirancang khusus dengan baik seperti dikemukakan sebelumnya, siswa dapat memperoleh perluasan wawasan dan penambahan pengetahuan tentang hubungan antara sains, teknologi dan masyarakat, yang diperlukan siswa sebagai anggota masyarakat.

Poedjiadi (2005) mengemukakan, bahwa ada pola tertentu dari langkah-langkah yang dilakukan dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan S-T-M. Misalnya, suatu hal yang tidak boleh diabaikan adalah adanya pemantapan konsep yang menuntut kejelian guru, untuk mencegah terjadinya miskonsepsi. Dengan demikian dari penjelasan di atas, maka selanjutnya pendekatan S-T-M telah dapat disebut sebagai model S-T-M.

Gambar 2. Model Pembelajaran S-T-M
Kekhasan dari model ini adalah pada pendahuluan dikemukakan isu-isu atau masalah yang ada di masyarakat yang dapat digali dari siswa, tetapi apabila guru tidak berhasil memperoleh tanggapan dari siswa dapat saja dikemukakan oleh guru sendiri. Tahap ini dapat disebut dengan inisiasi atau mengawali, memulai, dan dapat pula disebut dengan invitasi yaitu undangan agar siswa memusatkan perhatian pada pembelajaran. Apersepsi dalam kehidupan juga dapat dilakukan, yaitu mengaitkan peristiwa yang telah diketahui siswa dengan materi yang akan dibahas, sehingga tampak adanya kesinambungan pengetahuan, karena diawali dengan hal-hal yang tidak diketahui siswa sebelumnya yang ditekankan pada keadaan yang ditemui dalam keadaan sehari-hari. Pada dasarnya apersepsi merupakan proses asosiasi ide baru dengan yang sudah dimiliki sebelumnya oleh seseorang.

Gilberti (-) mengemukakan contoh isu atau masalah yang ada di masyarakat dan berkaitan dengan sains dan teknologi berikut ini.
a. Penipisan ozon karena pemanasan global
b. Penanganan pencemaran air.
c. Sampah yang membahayakan pertumbuhan populasi.
d. Tenaga nuklir dan pembangkit listrik tenaga nuklir.
e. Sistem teknologi transportasi.

Pada pendahuluan ini guru juga dapat melakukan eksplorasi terhadap siswa melalui pemberian tugas untuk melakukan kegiatan di lapangan atau di luar kelas secara berkelompok. Kegiatan mengunjungi dan mengobervasi keadaan di luar kelas itu bertujuan untuk mengaitkan antara konsep-konsep atau teori yang dibahas di kelas dengan keadaan nyata yang ada di lapangan. Dengan mendiskusikan temuan mereka, merencanakan tindakan selanjutnya, terjadilah kolaborasi dan koordinasi dalam kelompok, dan tercipta suatu dinamika kelompok, yang bermanfaat diterima kelompok dan direncanakan untuk dilakukan, merupakan kebanggaan tersendiri sehingga orang tersebut merasa dihargai, yang pada gilirannya akan mau berpikir terus untuk kebaikan dan penghargaan kelompok lain terhadap kelompoknya.

Isu yang mengundang pro dan kontra mengharuskan siswa berpikir untuk menganalisis isu tersebut. Dengan demikian ada interaksi antara guru dengan siswa atau antarsiswa. Proses interaksi ini menuntut seseorang untuk berpikir tentang ide-ide dan analisis yang akan dikemukakan atau cara mempertahankan pandangan tentang isu-isu tersebut. Apabila masalah yang dikemukakan atau ditemukan itu berasal dari guru, siswa tetap juga harus berpikir tentang penyelesaian masalah yang direncanakan meskipun konsep-konsep sebagai produk pengetahuan untuk menyelesaikan masalah belum diketahui karena belum dilaksanakan pembentukan konsep.

Proses pembentukan konsep (tahap 2) dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan dan metode. Misalnya pendekatan keterampilan proses, metode eksperimen, diskusi kelompok, dan lain-lain.

Pada akhir pembentukan konsep diharapkan siswa telah dapat memahami apakah analisis terhadap isu-isu atau penyelesaian terhadap masalah yang dikemukakan di awal pembelajaran telah menggunakan konsep-konsep yang diikuti oleh para ilmuwan. Dengan demikian siswa yang memiliki prakonsepsi yang berbeda dengan konsep-konsep para ilmuwan, seringkali merasa bahwa konsep yang dimiliki sebelumnya ternyata tidak dapat atau kurang tepat untuk menyelesaikan masalah yang ia hadapi. Siswa dapat mengalami konflik kognitif lebih dahulu apabila konsep yang digunakan untuk menyelesaikan masalah atau menganalisis isu dirasakan tidak benar. Semua kemampuan mental kita yaitu mengingat, memahami dan lain-lain terorganisasi dalam suatu sistem yang kompleks yang secara keseluruhan disebut dengan kognisi.

Dalam hubungan sosial, seseorang dapat pula mengalami konflik kognitif apabila pandangan atau penyelesaian masalah yang telah direncanakan tidak sesuai dengan pandangan orang lain atau kebanyakan orang. Namun setelah berdiskusi, ia kemudian menyadari dan mengambil keputusan bahwa pandangannya perlu diubah.

Selanjutnya berbekal pemahaman konsep yang benar, siswa melakukan analisis isu atau penyelesaian masalah yang disebut aplikasi konsep dalam kehidupan (tahap 3). Adapun konsep-konsep yang telah dipahami siswa dapat diaplikasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Selama proses pembentukan konsep, penyelesaian masalah dan/atau analisis isu (tahap 2 dan tahap 3) guru perlu meluruskan jika ada miskonsepsi selama kegiatan belajar berlangsung. Kegiatan ini disebut pemantapan konsep. Apabila selama proses pembentukan konsep tidak tampak ada miskonsepsi yang terjadi pada siswa, demikian pula setelah akhir analisis isu dan penyelesaian masalah, guru tetap perlu melakukan pemantapan konsep sebagaimana tampak pada alur pembelajaran (tahap 4) melalui penekanan pada konsep-konsep kunci yang penting diketahui dalam bahan kajian tertentu.

Contoh RPP dan LKS berbasis S-T-M dapat diunduh pada artikel ini.


DAFTAR PUSTAKA

Galib, La Maronta. (2001). Penerapan Model Konstruktif Pembelajaran Sains dan Teknologi dengan Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat dan Strategi Pembelajaran Modul di Sekolah Dasar Kecil Negeri Bungin. Disertasi Doktoral Program Studi Pendidikan IPA PPS UPI: tidak diterbitkan.

Gilberti, Anthony F. (-). The Science/Technology/Society Approach. [Online]. Tersedia: http://isu.indstate.edu/gilberti/greece/sts.html. [6 April 2007]
King, Kenneth P. (-). Examination of the Science-Technology-Society Approach to the Curriculum. [Online]. Tersedia: www.cedu.niu.edu/scied/courses/common_files/sts_overview.pdf . [6 April 2007]



Page 1
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BIOLOGI PADA KONSEP
PERKEMBANGBIAKAN TUMBUHAN DENGAN MENGGUNAKAN
PENDEKATAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT (STM)
(STUDI KUASI EKSPERIMEN) SISWA KELAS IX F
SMP N 2 COLOMADU TAHUN AJARAN 2007/2008
SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Guna mencapai derajat Sarjana S-1
Program Studi Pendidikan Biologi
Oleh:
AJENG MERIANI
A420 040 057
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2008
________________________________________
Page 2
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan dan membina
potensi sumber daya manusia melalui berbagai kegiatan belajar mengajar yang
diselenggarakan pada semua jenjang pendidikan dari tingkat dasar, menengah,
dan perguruan tinggi. Pendidikan di sekolah mempunyai tujuan untuk
merubah agar dapat memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan sikap belajar
sebagai bentuk perubahan perilaku belajar, sehingga tujuan pendidikan
tercapai (Margono, 2004). Dengan adanya tujuan tersebut, maka mutu
pendidikan akan dapat ditingkatkan.
Dalam perkembangannya, peningkatan mutu pendidikan selalu
diupayakan baik pada tingkat dasar, menengah sampai perguruan tinggi.
Upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia dilaksanakan di segala
bidang, baik bidang sarana dan prasarana, kurikulum pendidikan, guru atau
pendidik. Adanya perubahan kurikulum dapat memberikan dampak yang besar
bagi proses pembelajaran yang sedang berlangsung.
Kurikulum pendidikan di Indonesia telah mengalami banyak
perubahan yaitu pada tahun 1968, 1979, 1984, 1994, 1999, 2004 (kurikulum
berbasis kompetensi), dan 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
Selain adanya perubahan kurikulum, juga perlu digunakan metode
pembelajaran yang sesuai dengan konsep yang diajarkan. Hal ini bertujuan
1
________________________________________
Page 3
2
untuk mempermudah siswa dalam memahami konsep yang diberikan oleh
guru. Selain hal-hal tersebut ternyata siswa juga mempunyai peran penting
dalam peningkatan mutu pendidikan, yaitu dengan merubah pola belajar
siswa, misalnya siswa yang dulu pasif sekarang harus dituntut lebih aktif
dalam mengikuti pelajaran, materi pelajaran yang diterima tidak hanya berasal
dari guru, tetapi siswa juga harus mengembangkannya dari berbagai referensi
yang ada seperti buku-buku lain di perpustakaan ataupun dari internet.
Adanya penggunaan metode, strategi serta pendekatan pembelajaran
yang tepat juga diperlukan dalam peningkatan mutu pendidikan. Dari
berbagai macam strategi, metode, atau pendekatan pembelajaran yang
digunakan salah satunya yaitu pendekatan STM (Sains Teknologi Masyarakat)
dengan menggunakan studi kuasi eksperimen. Pendekatan ini menggunakan
metode praktikum atau eksperimen dalam penyampaian materinya. Metode
praktikum tersebut dilakukan setelah guru memberikan arahan, aba-aba, dan
petunjuk pelaksanaan praktikum kepada para siswa, serta bentuk kegiatan
praktikum yang mempergunakan alat-alat tertentu sehingga dapat melatih
siswa dalam menggunakan alat-alat yang telah diberikan kepadanya dan siswa
dapat memperoleh hasil dari kegiatan praktikum tersebut (Yamin, 2005). Hal
ini bertujuan agar siswa lebih memahami apa yang disampaikan oleh guru dari
tiap-tiap proses yang ada di dalam praktikum, sehingga hasil yang diperoleh
oleh siswa tidak hanya nilai yang bagus, tetapi siswa juga lebih memahami
materi yang telah disampaikan oleh guru. Hal ini akan terlihat pada nilai yang
diperoleh siswa sebelum diberi perlakuan yang berupa praktikum dengan
________________________________________
Page 4
3
pendekatan STM (pre test) dan nilai sesudah diberi perlakuaan (post test).
Oleh karena itu, hasil yang diharapkan adalah nilai post test lebih tinggi dari
nilai pre test.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Surtika Resmiati di SMP N
Ciamis pada tahun Pelajaran 2002/2003 diperoleh hasil bahwa terdapat
peningkatan hasil belajar siswa pada konsep perkembangbiakan tumbuhan.
Hal ini terlihat pada peningkatan hasil tes sesudah diberi perlakuan yaitu pada
post test yang lebih meningkat dibandingkan dengan hasil pre test atau
sebelum diberi perlakuan menggunakan pendekatan STM (Sains Teknologi
Masyarakat) (Studi Kuasi Eksperimen).
Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai upaya meningkatkan
hasil belajar siswa dengan proposal yang berjudul “Upaya Meningkatkan
Hasil Belajar Biologi Pada Konsep Perkembangbiakan Tumbuhan
Menggunakan Pendekatan STM (Sains Teknologi Masyarakat) (Studi
Kuasi Eksperimen) Siswa Kelas IX F SMP Negeri 2 Colomadu Tahun
Ajaran 2007/2008".
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalahnya
adalah bagaimana hasil belajar siswa pada konsep perkembangbiakan
tumbuhan menggunakan pendekatan STM (Sains Teknologi Masyarakat)
(Studi Kuasi Eksperimen)?
________________________________________
Page 5
4
C. Pembatasan Masalah
Agar masalah ini dapat dikaji secara mendalam, maka perlu adanya
pembatasan ruang lingkup. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah hasil belajar menggunakan
pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) pada kelas IX F SMP
Negeri 2 Colomadu pada tahun ajaran 2007/2008.
2. Subjek dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa pada konsep
perkembangbiakan tumbuhan menggunakan pendekatan Sains Teknologi
Masyarakat (STM).
3. Objek dalam penelitian ini adalah siswa kelas IX F SMP Negeri 2
Colomadu pada tahun ajaran 2007/2008.
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah mengetahui
peningkatan hasil belajar Biologi pada konsep Perkembangbiakan Tumbuhan
menggunakan Pendekatan STM (Sains Teknologi Masyarakat) (Studi Kuasi
Eksperimen) siswa kelas IX F SMP Negeri 2 Colomadu Tahun Ajaran
2007/2008





Poedjiadi, Anna. (1987). Sejarah dan Filsafat Sains. Bandung: Yayasan Cendrawasih.


. (1994). “Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakta dalam Pendidikan Sebagai Upaya Meningkatkan Literasi Sains dan Teknologi”. Makalah pada Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan MIPA ke III tanggal 25-27 Juli 2004, Ujung Pandang.


(2005). Sains Teknologi Masyarakat Model Pembelajaran Kontekstual Bermuatan Nilai. Bandung: Rosdakarya

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sains merupakan ilmu yang membahas tentang gejala-gejala alam yang disusun secara sistematis yang didasari oleh fakta yang empiral pada hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan oleh manusia. Sains ini diperoleh dengan cara yang terkontrol dan berlaku umum yang berupa kumpulan eksperimen serta data yang lebih nyata. Oleh karena itu, mata pelajaran sains di sekolah dasar merupakan suatu bentuk ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala alam dan kebendaan yang diperoleh lewat hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan oleh manusia yang tersusun secara sistematis yang membutuhkan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa.
1

Mata pelajaran sains di sekolah dasar merupakan salah satu program pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat serta dapat memecahkan masalah dan membuat keputusan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa tujuan pembelajaran sains di sekolah dasar dapat mengembangkan kognitif, afektif, psikomotorik, kreativitas serta melatih siswa dalam berpikir kritis dalam memahami fenomena-fenomena yang terjadi di alam atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar sehingga siswa dapat memecahkan masalah tentang isu-isu sosial dalam masyarakat yang menjadi tantangan hidup dan mampu mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Jadi penekanan dalam pembelajaran sains adalah bagaimana seorang guru dapat mengembangkan pemahaman siswa dalam mengelola pemikirannya untuk menghubungkan satu fenomena dengan fenomena yang lain di lingkungan sekitarnya sehingga memperoleh suatu ide atau gagasan yang baru tentang suatu objek yang diamati dan memikirkan cara pemecahan masalahnya.
Sains merupakan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh dengan cara terkontrol dan sistematik serta dapat diuji dan dibuktikan kebenarannya. Oleh karena itu, dalam pembelajaran sains seyogyanya diciptakan kondisi agar siswa selalu aktif untuk ingin tahu terhadap permasalahan alam sekitar. Sehingga siswa dapat menggali potensi-potensi yang ada dalam dirinya untuk dikembangkan dan nantinya dengan potensi yang dimiliki siswa mampu mengatasi setiap tantangan dan rintangan dalam kehidupan yang cepat berubah apalagi dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Bruner (Samatowa 2006: 23) bahwa ”perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif”. Hudoyo (Samatowa 2006: 25) mengatakan bahwa:
Untuk mempelajari suatu materi sains yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang itu akan mempengaruhi terjadinya proses belajar sains tersebut. Apalagi diajarkan menurut cara yang tepat lalu dari seseorang itu akan mempengaruhi terjadinya proses belajar misalnya diajarkan dengan menggunakan pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM).

Dimana dengan pendekatan ini siswa dihadapkan pada suatu masalah yang terjadi di lingkungan sekitar kita sebagai akibat dari pengembangan atau penggunaan teknologi yang meresahkan kehidupan masyarakat. Dan dalam proses pembelajarannya siswa diajak untuk mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut dengan menggunakan dasar atau menerapkan prinsip-prinsip sains.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sains sekolah dasar ada beberapa kajian materi yang harus dikuasai oleh siswa. Salah satu kajian materi tersebut adalah jenis bahan dan keguanaanya. Konsep tersebut harus dikuasai oleh siswa sekolah dasar, dimana konsep ini sangat berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari siswa baik secara individu maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu guru sebagai pengajar perlu menanamkan konsep dengan baik agar dapat dipahaminya sehingga siswa mengerti dan paham tentang konsep tersebut. Namun kenyataan yang ditemukan di lapangan dalam pembelajaran sains kelas V sekolah dasar tidak sesuai yang diharapkan.
Sesuai dengan hasil observasi dan wawancara terhadap guru dan siswa kelas V SDN 240 Podomoro Kabupaten Luwu Timur, diketahui: 1) guru dalam proses pembelajarannya masih bersifat tekstual atau cenderung hafalan, dimana siswa tidak dilibatkan secara langsung untuk mengamati obyek tentang fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Siswa hanya sebagai pendengar dan pencatat apa yang disampaikan oleh guru sehingga mengakibatkan kurangnya pemahaman siswa tentang materi yang diajarkan, khususnya dalam memahami materi IPA, 2) guru tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengelola pemikirannya sendiri dalam mengkaji fenomena-fenomena yang terjadi yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini terjadi karena guru kurang menciptakan kondisi serta menyediakan sarana agar siswa dapat mengamati dan menemukan konsep dan membangunnya dalam struktur kognitifnya, 3) guru kurang bervariasi dalam menggunakan metode dan pendekatan pembelajaran, guru hanya menggunakan metode ceramah dan pendekatan yang diterapkan adalah pendekatan konsep sehingga membawa situasi kelas menjadi tegang karena menuntut siswa konsentrasi penuh secara terus menerus dari awal sampai akhir pembelajaran, akibatnya dapat melelahkan siswa sehingga sering terlontar komentar siswa bahwa pembelajaran sains itu sangat membosankan 4) guru tidak menggunakan pendekatan sains teknologi masyarakat dalam proses belajar mengajar.
Peneliti juga melakukan tes kepada siswa kelas V untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa dalam pembelajaran IPA. Ternyata dari hasil tes tersebut ditemukan bahwa pemahaman siswa kurang terhadap pembelajaran IPA. Hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan siswa dalam menjawab soal yang diberikan oleh guru.
Selain dari data hasil observasi dan tes yang dilakukan, peneliti juga memperoleh data dari hasil wawancara langsung dengan guru dan siswa yang dilakukan untuk memperjelas permasalahan yang dihadapi guru dan siswa tersebut dalam pembelajaran sains. Dari hasil wawancara tersebut diperoleh data bahwa: 1) guru beranggapan bahwa dengan menggunakan metode eksperimen, pendekatan proses dan kooperatif memerlukan banyak waktu, 2) guru dalam proses pembelajaran merasa kurang waktu memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya atau memberikan tanggapan terhadap materi yang diajarkan, 3) guru kurang mampu merancang dan menggunakan pendekatan yang sesuai yang dapat menarik minat siswa sehingga siswa merasa bosan dalam belajar sains. Sedangkan hasil wawancara langsung kepada siswa kelas V yang menyatakan bahwa pembelajaran sains kurang menarik sehingga mereka bosan dalam belajar sains yang tidak dilibatkan secara aktif. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya pemahaman siswa dalam memahami materi yang diajarkan oleh guru. Jika masalah ini tidak dapat diatasi akan berdampak negatif bagi siswa khususnya pada peningkatan pemahaman siswa dan kemampuan kognitif siswa dan terlebih lagi akan berdampak buruk bagi kemajuan hasil belajar. Oleh karena itu, peneliti bersama guru melakukan tindakan untuk mengatasi masalah tersebut melalui penelitian tindakan kelas dengan menggunakan pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM).
Pendekatan sains teknologi masyarakat merupakan pendekatan pembelajaran yang pada dasarnya membahas penerapan sains dan teknologi dalam konteks kehidupan manusia sehari-hari. Oleh karena itu pendekatan sains teknologi masyarakat disebut sebagai pendekatan terpadu antara sains dan isu-isu teknologi yang ada dalam masyarakat. Dengan pendekatan ini siswa dikondisikan diharapkan mampu menerapkan prinsip-prinsip sains untuk menghasilkan karya teknologi sederhana atau solusi pemikiran untuk mengatur dampak negatif yang mungkin timbul akibat munculnya produk teknologi. Dengan demikian guru sains dapat menggunakan pendekatan sains teknologi masyarakat untuk menanamkan pemahaman konsep dan pengembangannya untuk kemaslahatan masyarakat.
Hal ini sejalan dengan pendapat Myers (Asyari 2006: 34) yang menyatakan bahwa ”pendekatan STM efektif untuk meningkatkan penguasaan konsep dalam diri siswa dan dalam penerapannya di lapangan diharapkan dapat menunjukan kemampuan menerapkan konsep sains dalam kehidupan sehari-hari”.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM memungkinkan anak dapat menghubungkan hal-hal yang telah di pahami dengan fenomena-fenomena yang ada di lingkungannya sehingga dapat menguatkan pemahaman terhadap suatu permasalahan atau memperoleh pemahaman yang baru yang berkaitan dengan kehidupan keseharian siswa tersebut. Sehingga dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang fenomena atau objek yang diamati.
Hasil belajar IPA siswa kelas V SDN 240 yang diperoleh dari guru menunjukkan berada di bawah standar kelulusan minimal (KKM), dimana skor total yang dicapai kelas adalah 136 dengan tingkat nilai rata-rata kelas hanya 5.4. Dengan demikian, diperlukan upaya tindak lanjut meningkatkan hasil belajar siswa tersebut. Jika dipersentasekan, maka hasil belajar siswa pra siklus yang memperoleh nilai terbanyak adalah nilai 5, yaitu sebesar 52%, dan nilai 6 sebesar 40%, sedangkan nilai 4 adalah 4%.
Oleh karena itu, berdasarkan temuan masalah di atas, peneliti tertarik untuk mencoba melakukan tidakan perbaikan dalam pembelajaran melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan judul “Penerapan Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat untuk Meningkatkan Hasil IPA Murid kelas V SDN 240 Podomoro Kabupaten Luwu Timur”.
Dengan menggunakan pendekatan sains teknologi guru diharapkan dapat mengatasi kesulitan siswa dalam memahami konsep sehingga hasil belajar akan lebih baik terhadap pembelajaran.
B. Rumusan Masalah dan Rencana Pemecahannya
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana cara meningkatkan hasil belajar IPA murid kelas V SDN 240 Podomoro Kabupaten Luwu Timur dengan menggunakan pendekatan sains teknologi?
2. Apakah dengan pendekatan sains teknologi masyarakat dapat meningkatkan hasil belajar murid kelas V SDN 240 Podomoro Kabupaten Luwu Timur?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui pendekatan sains teknologi masyarakat meningkatkan hasil belajar murid kelas V SDN 240 Podomoro Kabupaten Luwu Timur.
2. Mendeskripsikan cara meningkatkan hasil belajar murid kelas V SDN 240 Podomoro Kabupaten Luwu Timur dengan pendekatan sains tekologi masyarakat.


D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Melalui hasil penelitian ini, diharapkan guru SD dan calon guru memiliki pengetahuan tentang teori pendekatan STM yang merupakan salah satu bentuk inovasi pembelajaran di SD.
b. Hasil penelitian ini diharapkan guru SD dan calon guru memiliki teori pembelajaran yang dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan pemahaman dan hasil belajar IPA di SD.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan guru SD mendapat pengalaman secara langsung menggunakan pendekatan STM dalam pembelajaran IPA.
b. Hasil penelitian ini diharapkan calon guru mendapat pengalaman nyata dan dapat menerapkan pendekatan STM jika menjadi guru

















BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS TINDAKAN

A. Kajian Pustaka

1. Pendekatan STM
Pendekatan STM merupakan pendekatan pembelajaran yang pada dasarnya membahas penerapan sains dalam konteks kehidupan manusia sehari hari. Oleh karena itu, pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) disebut sebagai pendekatan terpadu antara sains dan isue teknologi yang ada di masyarakat. Dengan pendekatan ini siswa dikondisikan agar mau dan mampu menerapkan prinsip-prinsip sains untuk menghasilkan karya teknologi sederhana atau solusi pemikiran untuk mengatur dampak negatif yang mungkin timbul akibat munculnya produk teknologi.
9

Seperti yang kita ketahui bahwa hakikat sains adalah sebagai produk dan proses, maka dalam pembelajarannya diharapkan tidak hanya menyampaikan pengetahuan berupa fakta, konsep atau prinsip saja melainkan juga tentang proses bagaimana produk sains ditemukan. Disamping itu, dilihat dari salah satu fungsi mata pelajaran sains adalah mengembangkan kesadaran tentang adanya hubungan/keterkaitan yang sangat mempengaruhi STM dan masyarakat maka dalam pembelajarannya dibutuhkan wahana yang dapat memfasilitasi tumbuhnya kesadaran tersebut. Untuk itu dalam pembelajaran sains perlu dikaitkan dengan teknologi karena pada dasarnya antara sains dan teknologi memiliki hubungan timbal balik artinya pengembangan sains akan menghasilkan pengetahuan dasar yang dibutuhkan untuk pengembangan teknologi sementara pengembangan teknologi dapat menghasilkan cara atau sarana bagaimana memecahkan masalah sains yang ada.
Di Indonesia gagasan penerapan pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) sebetulnya sudah dimunculkan dalam garis-garis besar program pengajaran materi sains kurikulum 1994 namun praktek di lapangan masih jarang bahkan bisa dikatakan belum diterapkan. Penerapan pendekatan STM pada umumnya masih terbatas pada uji coba/penelitian-penelitian. Disinyalir salah satu kendala yang menyebabkan adalah belum dipahami dengan baik bagaimana operasionalisasi pendekatan sains teknologi masyarakat bagi sebagian besar guru sains.
Pentingnya untuk mengembangkan pembelajaran sains lewat STM tertuang kembali dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dalam kurikulum tersebut secara eksplisif ditegaskan bahwa Salingtemas (Sains Lingkungan Teknologi dan Masyarakat ) merupakan aspek yang harus dipelajari siswa dalam pembelajaran sains.
Secara konseptual pendekatan STM memiliki beberapa nilai tambah baik yang merupakan sasaran utama maupun yang berbentuk dampak pengiring. Menurut Hamid (2008: 4), nilai tambah yang merupakan sasaran utama antara lain adalah :
a. Melalui pendekatan STM membuat pengajaran sains lebih bermakna karena langsung berkaitan dengan permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari dan membuka wawasan siswa tentang peranan sains dalam kehidupan nyata
b. STM dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk mengaplikasikan konsep, keterampilan proses, kreativitas dan sikap menghargai produk teknologi serta tanggung jawab atas masalah yang timbul di lingkungan
c. Pendekatan STM yang berorientasi pada “hand on activities” membuat siswa dapat menikmati kegiatan-kegiatan sains dengan perolehan pengetahuan yang tidak mudah terlupakan dengan demikian dapat juga digunakan untuk menarik minat siswa dalam pembelajaran sains
d. STM dapat memperluas wawasan siswa tentang keterkaitan sains dengan bidang studi lain. Hal ini dapat terwujud karena dalam memecahkan permasalahan alam di lingkungan, siswa tidak hanya mempelajari bidang sains saja melainkan perlu berbagai bidang studi yang lain misalnya IPS, matematika dan lain lain. Dengan demikian mereka akan menyadari perlunya pemahaman ilmu secara holistik/menyeluruh sehingga terhindar dari sikap skeptis atau pandangan yang sempit
e. Lewat pendekatan STM dapat pula dikembangkan pembelajaran terpadu atau ”integrated learning, across curiculum” atau lintas bidang studi. Hal ini sejalan dengan pendapat Yager dan Lutz (Asyari 2006: 64) mengatakan ”bahwa pendekatan STM dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas (total curiculum) atau pembelajaran secara menyeluruh”.
Adapun dampak pengiring dari penerapan STM adalah akibat dari beragamnya kegiatan yang dilakukan dan penggunaan dari berbagai macam cara penilaian pencapaian keberhasilan belajar siswa misalnnya adanya:
a. Kegiatan kerja kelompok dapat memupuk kebiasaan saling kerja sama antar siswa
b. Kegiatan diskusi dapat memacu siswa untuk berani mengungkapkan pendapat sekaligus dapat melatih keterampilan siswa untuk dapat berkomunikasi dengan baik. Disamping itu dengan diskusi akan terbentuk sikap terbuka atau menghargai pendapat orang lain
c. Pencapaian suatu karya atau pengaplikasian suatu gagasan dapat menimbulkan rasa bangga pada diri siswa bahwa dirinya dapat berperan/bermanfaat bagi masyarakat maupun bagi perkembangan sains dan teknologi
d. Penggunaan cara evaluasi yang kontinyu dan beragam dapat mendorong siswa untuk serius atau perhatian dalam mengikuti pembelajaran karena penilaian tidak hanya menyangkut kemampuan kognitif saja melainkan juga partisipasi dan kreativitasnya juga. Disamping itu siswa akan merasa bahwa semua aktivitas/gagasan yang dilontarkan akan mendapat apresiasi sehingga tidak ada keterlibatan yang mubadzir.
Penerapan pendekatan STM yang dilakukan oleh Boujaoude (Hidayat 2006: 23) menunjukan bahwa :
Dengan pendekatan STM siswa merasa lebih memahami manfaat peranan sains dalam kehidupan sehingga membuat siswa semakin berkembang sikap positifnya terhadap sains. Disamping itu dengan STM siswa dapat menyadari bahwa teknologi memiliki dimensi yaitu di satu sisi dibutuhkan manusia dan disisi lain memiliki efek samping yang merugikan.





2. Karakteristik Pendekatan STM
Pendekatan STM merupakan inovasi pembelajaran sains yang berorientasi bahwa sains sebagai bidang ilmu tidak terpisahkan dari realitas kehidupan masyarakat sehari hari dan melibatkan siswa secara aktif dalam mempelajari konsep-konsep sains yang terkait. Oleh karena itu paradigma yang digunakan dalam pendekatan STM menurut Aikenhead (Asyari 2006: 62 ) adalah:
1) Pelajaran sains dipandang sebagai usaha manusia yang berkembang melalui aktivitas manusia dan akan mempengaruhi hidup manusia. 2) Memandang pendidikan sains dalam konteks yang lebih luas tidak hanya menyangkut konsep-konsep yang ditemukan oleh para ilmuwan saja tetapi juga menyangkut proses yang digunakan dalam menemukan konsep yang digunakan dalam menemukan konsep yang baru. 3) Setiap pokok bahasan dikaitkan dengan konteks sosial dan teknologi sehingga siswa diharapkan dapat melihat adanya integrasi antara alam semesta sebagai sains dengan lingkungan buatan manusia sebagai teknologi dan dunia sehari hari para siswa sebagai lingkungan sosial/masyarakat
Diagram tersebut di atas memberikan makna bahwa alam yang merupakan lingkungan dimana siswa berada yang merupakan sumber berbagai pengetahuan sains. Disamping itu untuk dalam melangsungkan kehidupannya manusia akan memanfaatkan/mendayagunakan alam. Untuk dapat memanfaatkan alam tersebut manusia perlu menciptakan teknologi. Teknologi diciptakan pada dasarnya untuk membantu/memudahkan manusia dalam pencapaian tujuan hidupnya. Teknologi dibangun dengan dasar atau menerapkan prinsip-prinsip sains, sehingga teknologi dapat dimaknai sebagai lingkungan buatan manusia. Agar kelangsungan hidup manusia dapat terjaga maka dalam menciptakan dan menggunakan teknologi tersebut maka dalam menciptakan dan menggunakan teknologi tersebut harus memperhatikan dampak atau pengaruhnya bagi masyarakat luas jangan sampai teknologi yang diciptakan malah menimbulkan dampak sosial yang pada akhirnya manusia sendiri yang rugi.
Pemaknaan seperti tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa penerapan pendekatan STM merupakan usaha untuk menjembatani atau memadukan antara sains dan ilmu pengtahuan sosial. Oleh karena itu pendekatan STM dapat digunakan untuk membangun kesadaran siswa bahwa antara sains dengan pengetahuan sosial memiliki peranan yang sama dalam kehidupan bermasyarakat.
Titik tolak seperti tersebut maka untuk pembelajaran sains lewat pendekatan STM harus berorientasi pada siswa (student centered) secara rinci Yager (Asyari, 2006: 67) merumuskan karakteristik pendekatan STM adalah:
1) Berawal dari identifikasi masalah-masalah lokal yang ada kaitannya
dengan sains dan teknologi oleh siswa ( dengan bimbingan guru)
2) Penggunaan sumber daya setempat baik sumber daya manusia maupun material
3) Keikutsertaan siswa secara aktif dalam mencari informasi yang dapat diterapkan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari hari
4) Pengidentifikasian cara-cara yang memungkinkan sains dan teknologi untuk memecahkan masalah hari depan.
5) Dilaksanakan menurut strategi pembuatan keputusan. Setiap siswa harus menggunakan informasi sebagai bukti baik untuk membuat keputusan tentang kehidupan sehari hari maupun keputusan tentang masa depan masyarakat.
6) Belajar tidak hanya berlangsung dalam kelas atau sekolah tetapi juga diluar sekolah atau dilapangan nyata
7) Penekanan pada keterampilan proses yang dapat digunakan siswa dalam memecahkan masalah mereka sendiri
8) Membuka wawasan siswa tentang pentingnya kesadaran karir/profesi, terutama karir yang berkaitan dengan sains dan teknologi
9) Adanya kesempatan bagi siswa untuk memperoleh pengalaman dalam berperan sebagai warga negara untuk mencoba memecahkan masalah yang telah mereka identifikasi
¬Dengan mencermati karakteristik program STM seperti tersebut di atas nampak bahwa program STM dimaksudkan untuk menyiapkan/menghasilkan warga negara yang mampu melaksanakan atau mengambil keputusan tentang masalah-masalah aktual. Disamping itu STM dapat juga digunakan sebagai sarana untuk pembentukan literasi/tidak buta tentang sains dan teknologi karena selain siswa memperoleh pengetahuan juga diharapkan dapat timbul kesadaran tentang pelestarian lingkungan dan dampak negatif teknologi serta tanggung jawab untuk mencari penyelesaiannya.
Mengingat karakteristik seperti tersebut di atas maka proses pembelajaran STM beserta penilaiannya difokuskan pada enam ranah/domain yaitu sebagai pusatnya adalah konsep sains dan proses sains sedangkan empat domain yang lain mencerminkan dunia nyata. Dua domain diantaranya merupakan aspek yang mehasil belajar siswa untuk memasuki dunia ilmuwan yaitu aspek kreativitas dan sikap. Dua domain yang lain merupakan penerapan dan hubungan antar domain, dalam hal ini meliputi teknologi yang merupakan hasil karya manusia.
Hubungan keenam domain tersebut oleh Yager (Asyari 2006: 65) digambarkan sebagai berikut:




Aplication
Creatifity
Consep
Proces
Attitude

Conection
Gambar 1. Domain yang perlu dievaluasi dalam pendekatan STM
Mengingat bervariasinya aspek yang perlu diukur keberhasilannya maka bentuk dan cara evaluasinya juga bervariasi. Seyogyanya evaluasi dilakukan secara berkelanjutan sehingga penggunaan portofolio atau data perkembangan pencapaian hasil setiap siswa sangat dianjurkan. Menurut Yager dan Tamir (Asyari 2006: 66) yang menyatakan bahwa” untuk ranah konsep pencapaian hasil belajarnya dapat digunakan tes tertulis. Bahkan untuk konsep-konsep sederhana dapat digunakan bentuk pilihan ganda”.
Oleh karena sains meliputi juga aspek proses maka untuk mengetahui pencapaian kemampuannya harus dilakukan dengan mengamati apa yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Sebagai contoh untuk mengetahui kemampuan siswa dalam mengobservasi dapat dilakukan dengan melihat bagaimana siswa mengamati obyek dan bagaimana hasil/data yang diperolehnya sedangkan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam mengklasifikasi dapat dilakukan dengan melihat bagaimana siswa menyusun informasi yang digali atau data yang diperoleh menjadi suatu matriks yang mudah dipahami. Untuk ranah kretivitas dapat dievaluasi dari aspek: 1) Kelancaran: yaitu kemampuan untuk menghasilkan berbagai ide secara cepat dalam dalam menyelesaikan masalah. 2) Keluwesan: kemampuan untuk menghasilkan berbagai ide dalam menyelesaikan masalah yang baru. 3) Keaslian: kemampuan untuk menghasilkan respon/jawaban yang unik atau lain daripada yang lain. 4) Elaborasi: kemampuan untuk menghasilkan banyak alternatif/kemungkinan untuk menerjemahkan ide kedalam tindakan, dan 5) Kepekaan: peka terhadap munculnya masalah atau situsi tertentu.
3. Strategi Pembelajaran dengan Pendekatan STM
Pendekatan Sains Teknologi Masyrakat (STM) berorientasi pada peningkatan kemampuan berpikir siswa maka proses dalam memperoleh pengetahuan lebih diutamakan. Dengan pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) siswa diharapkan dapat membangun atau mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Oleh karena itu Yager (Asyari 2006: 66) mengatakan bahwa ”Pendekatan STM sejalan dengan prinsip pembelajaran yang konstruktivistik”.
Secara operasional “National Science Teachers Association” menyusun langkah pembelajaran sains dengan pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) , dalam tahap-tahap, yaitu: a) tahap invitasi, b) tahap eksplorasi, c) tahap solusi, dan tahap aplikasi. Lebih jelas dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Tahap invitasi: Pada tahap ini dapat dipilih salah satu dari alternatif, guru mengemukakan masalah aktual yang sedang berkembang di masyarakat sekitar yang dapat diamati/dipahami oleh peserta didik serta dapat merangsang siswa untuk bisa ikut mengatasinya.
b. Tahap eksplorasi: Pada tahap ini siswa melalui aksi dan reaksinya sendiri berusaha memahami/mempelajari situasi baru atau yang merupakan masalah baginya. Dapat ditempuh dengan cara membaca buku, majalah, koran mendengarkan berita di radio, melihat TV, diskusi dengan sesama teman atau wawancara dengan masyarakat maupun melalui observasi langsung di lapangan.
c. Tahap solusi: Pada tahap ini berdasarkan hasil eksplorasinya siswa menganalisis terjadinya fenomena dan mendiskusikan bagaimana cara pemecahan masalahnya. Dengan kata lain siswa mengenal dan membangun konsep baru yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Untuk memantapkan konsep yang diperoleh siswa tersebut guru perlu memberikan umpan balik/peneguhan.
d. Tahap aplikasi: Pada tahap ini siswa mendapat kesempatan untuk menggunakan konsep yang telah diperoleh. Dalam hal ini siswa mengadakan aksi nyata dala mengatasi masalah lingkungan yang dimunculkan pada tahap invitasi.
Pembelajaran STM diawali dari adanya masalah nyata yang muncul di masyarakat. Untuk memahami dan memecahkan permasalahan tersebut perlu pengkajian suatu teknologi. Dalam hal ini teknologi dapat meliputi domain teknik atau cara dan domain produk atau yantg berbentuk sarana/barang. Teknologi yang dimaksud pada dasarnya merupakan pengembangan atau penerapan konsep dan keterampilan proses sains yang semata mata ditujukan untuk merespon kebutuhan hidup manusia atau mencari solusi untuk mengatasi masalah sosial. untuk melakukan semua kegiatan di atas, guru bertindak sebagai fasilitator. tugas /peranan utama guru adalah menciptakan ekologi belajar yang dapat membuat pembelajaran berpusat pada siswa. Kondisi tersebut dapat ditempuh dengan cara :
1) Mendorong dan menghargai inisiatif, otoritas dan kepemimpinan siswa.
2) Memperbolehkan siswa memilih sendiri materi yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan /ketertarikannya.
3) Memacu siswa untuk berinteraksi baik dengan sesama siswa maupun dengan guru
4) Mendorong siswa untuk merefleksikan pengalamannya
5) Meminta siswa untuk merumuskan konsep konsep yang mereka peroleh sebelum guru memberikan klarifikasi atau peneguhan tentang konsep tersebut.
Efektivitas atau keberhasilan penerapan pendekatan sains teknologi masyarakat tergantung beberapa faktor. Yager (Asyari 2006: 69) mengidentifikasi hal-hal yang perlu dipenuhi guru untuk dapat menerapkan pendekatan STM dengan baik antara lain:
a) Dapat menciptakan iklim atau lingkungan belajar dengan menggunakan sarana pembelajaran yang mendukung, b) memiliki harapan yang tinggi terhadap dirinya sendiri maupun siswanya, artinya guru mengharapkan pada siswanya dapat terjadi perubahan baik pengetahuannya, sikap maupun prilakunya. Pada dirinya sendiri berharap bahwa dengan STM ia akan banyak melakukan sesuatu, lebih melibatkan diri dan mencari terus pemecahan suatu masalahnya disekitarnya, c) menekankan pada “science literacy” atau “melek sains” dan penerapan pengetahuan sehingga dalam pembelajaran sains tidak hanya untuk memahami istilah atau keterampilan saja melainkan menuntut siswa untuk dapat menerapkan istilah tesebut atau mengklarifikasi penggunaannya dalam konsep yang lebih luas, dan d) memiliki keluwesan dalam pengaturan jadwal, penggunaan waktu dan pengoperasionalan kurikulum. Dalam pendekatan STM memungkinkan munculnya ide siswa yang baru dan beragam sehingga perlu diapresiasi agar kreatifitas siswa dapat berkembang.

4. Hasil Belajar Sains SD
Proses belajar mengajar di kelas mempunyai tujuan yang bersifat transaksional, artinya diketahui secara jelas dan operasional oleh guru dan siswa. Tujuan tercapai jika siswa memperoleh hasil belajar seperti yang diharapkan di dalam proses belajar mengajar tersebut. Oleh sebab itu, hasil belajar harus dirumuskan dan dinilai. Jadi hasil belajar adalah tingkat penguasaan yang dicapai murid dalam mengikuti program belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Caroll (Sabri, 2007: 25) berpendapat bahwa hasil belajar murid dipengaruhi oleh lima faktor, yakni: (1) bakat belajar; (2) waktu yang tersedia untuk belajar; (3) waktu yang diperlukan siswa untuk menjelaskan pelajaran; (4) kualitas pengajaran; dan (5) kemampuan individu. Sejalan dengan itu, William (Hamalik: 2001) menyimpulkan bahwa hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, abilitas, dan keterampilan.
Hasil belajar pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Hasil belajar sains tentu saja harus dikaitkan dengan tujuan pendidikan sains yang telah dicantumkan dalam garis-garis besar program pengajaran sains di sekolah dengan tidak melupakan hakikat sains itu sendiri. Oleh sebab itu, tujuan menggambarkan hasil belajar yang harus dimiliki murid dan cara murid memperoleh hasil belajar tersebut.
Hasil belajar sains dikelompokkan berdasarkan hakikat sains itu sendiri yaitu sebagai produk dan proses. Menurut Hungeford (Bundu, 2004: 36) menyatakan bahwa sains terbagi atas 2 bagian: (1) the investigation (proses) seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur, meramalkan, dan menyimpulkan; (2) the knowledge (produk) seperti fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori sains.
Sejalan dengan hal di atas, Sumaji (Bundu, 2004: 30) memandang hasil belajar dari dua aspek yakni aspek kognitif dan nonkognitif. Aspek kognitif adalah ahl-hal yang berkaitan dengan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan intelektual lainnya, sedangkan aspek nonkognitif erat kaitannya dengan sikap, emosi (afektif), serta keterampilan fisik atau kerja otot (psikomotor).
Di negara yang dianggap maju, tujuan pembelajaran sains di sekolah dasar juga bertumpu pada hakikat sains tersebut. British Columbia, Canada, (Bundu, 2004: 23) misalnya, menekankan dalam kurikulum bahwa pembelajaran sains di sekolah dasar harus: (1) menumbuhkan sikap ilmiah yang sesuai (encourage appropriate scientific attitude); (2) mengembangkan kemampuan menggunakan keterampilan proses sains (develop the ability to use the processes and skills of science); (3) mengenalkan pengetahuan ilmiah (introduce the scientific knowledge); dan (4) mengembangkan cara berpikir kritis, rasional, dan kreatif (promote critical, rational, and creative thinking). Dapat dikatakan bahwa hasil belajar sains SD/MI hendaknya mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) Penguasaan produk ilmiah atau produk sains yang mengacu pada seberapa besar murid mengalami perubahan dalam pengetahuan dan pemahamannya tentang sains baik berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, maupun teori. Aspek produk sains dalam pembelajaran di sekolah dikembangkan dalam pokok-pokok bahasan yang menjadi target program pembelajaran yang harus dikuasai. Aspek produk seperti fakta, konsep, prinsip, hukum, maupun teori sering disajikan dalam bentuk pengetahuan yang sudah jadi.
2) Penguasaan konsep ilmiah atau proses sains mengacu pada sejauh mana murid mengalami perubahan dalam kemampuan proses keilmuwan yang terdiri atas keterampilan proses sains dasar dan keterampilan proses sains terintegrasi. Untuk tingkat pendidikan dasar di SD/MI maka penguasaan proses sains difokuskan pada keterampilan proses sains dasar (basic science processes skills) yang meliputi keterampilan mengamati (observasi), menggolongkan (klasifikasi), menghitung (kuantifikasi), meramalkan (prediksi), menyimpulkan (inferensi) dan mengkomunikasikan (komunikasi).
3) Penguasaan sikap ilmiah atau sikap sains merujuk pada sejauh mana murid mengalami perubahan dalam sikap dan sistim nilai dalam proses keilmuan. Sikap ilmiah yang sangat penting dimiliki pada semua tingkatan pendidikan.
4) Sains adalah hasrat ingin tahu, menghargai kenyataan (fakta dan data), ingin menerima ketidakpastian, refleksi kritis dan hati–hati, tekun, ulet, tabah, kreatif untuk penemuan baru, berpikiran terbuka, sensitif terhadap lingkungan sekitar, bekerjasama dengan orang lain. Gage (Bundu: 2004) menyarankan ada empat sikap yang perlu dikembangkan yakni sikap ingin tahu (curiocity), penemuan (inventiveness), berpikir kritis (critical thinking), dan teguh pendirian (persistence). Keempat sikap ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya karena saling melengkapi.
5. Penerapan Pendekatan STM dalam Pembelajaran IPA
Pendekatan sains teknologi masyarakat merupakan pendekatan pembelajaran yang pada dasarnya membahas penerapan sains dan teknologi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam pendekatan ini siswa dikondisikan agar mau dan mampu menerapkan prinsip-prinsip sains untuk menghasilkan sesuatu yang baru atau solusi untuk mengatur dampak negatif yang akan muncul akibat munculnya produk teknologi. Dengan demikian guru sains menggunakan pendekatan sains teknologi masyarakat untuk menanamkan pemahaman konsep dan pengembangannya untuk kemaslahatan masyarakat terutama dalam pembelajaran IPA.
Hal ini sejalan dengan pendapat Myers (Asyari 2006: 79) yang mengatakan bahwa”Pendekatan STM efektif untuk meningkatkan penguasaan konsep dalam diri siswa dan penerapannya di lapangan diharapkan dapat menunjukan kemampuan menerapkan konsep sains dalam kehidupan sehari-hari”.
Dalam pembelajaran ini, guru menggunakan pendekatan sains teknologi masyarakat untuk menanamkan pemahaman konsep pada siswa agar pembelajaran lebih bermakna dan siswa tidak merasa bosan dan menyenangi pelajaran tersebut. Dimana siswa dapat menghubungkan hal-hal yang telah dipahami dengan fenomena-fenomena yang ada di lingkungannya sehingga siswa dapat membangun struktur kognitifnya dalam pembelajaran tersebut.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Bruner (Samatowa 2006:23) yang mengatakan bahwa”Perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaksi”. Dan Hudoyo (Samatowa 2006: 25 ) menyatakan bahwa
Untuk mempelajari materi sains yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang itu akan mempengaruhi terjadinya proses belajar sains tersebut. Apalagi diajarkan dengan cara yang tepat seperti diajarkan dengan menggunakan pendekatan sains teknologi masyarakat.

Pendekatan STM ini memberikan pengetahuan kepada siswa bagaimana mengatasi masalah atau isue-isue sosial yang ada di sekitarnya seperti pencemaran, bencana alam, kekeringan dan lain-lain. Dalam pembelajarannya ini, guru dalam pembelajarannya, guru mengemukakan masalah actual yang sering terjadi dalam kehidupan sehari hari. Kemudian mengungkap pemahaman awal siswa dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan. Setelah itu guru menyuruh siswa mendiskusikan yang berkaitan dengan pemahaman yang dimilikinya dan menggunakan konsep yang telah mereka peroleh serta merancang tehnik pemecahan masalah yang dikaji. Dan melakukan aksi nyata dalam mengatasi masalah yang dimunculkan.
B. Kerangka Pikir

Keberhasilan proses pembelajaran merupakan hal utama yang didambakan dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Dalam proses pembelajaran komponen utamanya adalah guru dan siswa. Agar proses pembelajaran berhasil, guru harus dapat membimbing siswa, sehingga dapat mengembangkan pengetahuannya. Untuk mencapai keberhasilan tersebut guru harus memahami sepenuhnya materi yang diajarkan. Namun pada kenyataannya siswa cenderung enggan untuk belajar jika materi tidak dapat dipahami, sehingga konsep-konsep baru akan sulit dipahami apabila konsep-konsep yang relevan belum dimiliki oleh siswa.
Pada pembelajaran IPA khususnya khususnya materi benda dan sifat-sifatnya, siswa masih mengalami kesulitan dalam mengenal sifat-sifat benda, sehingga hasil belajarnya pun tidak maksimal. Padahal benda dan sifat-sifatnya pada siswa kelas V SD merupakan konsep dasar yang harus dipahami oleh siswa agar dalam menerima konsep-konsep yang baru pada kelas yang lebih tinggi nantinya tidak mengalami kesulitan. Oleh sebab itu pada kesempatan ini peneliti menekankan pembelajaran sains teknologi masyarakat (STM) untuk membantu mengungkap dan menjelaskan materi benda dan sifat-sifatnya, sehingga diharapkan siswa akan memahami sifat-sifat benda dengan baik dan dapat lebih berkembang.
Kerangka pikir pendekatan sains teknologi masyarakat dalam meningkatkan pemahaman siswa di kelas V SDN 240 Podomoro Kabupaten Luwu Timur dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

























Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian
C. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka pikir yang dikemukakan sebelumnya maka hipotesis tidakan adalah ”Jika pendekatan sains teknologi masyarakat (STM) diterapkan ke pembelajaran, maka hasil belajar murid mata pelajaran IPA di kelas V SDN 240 Podomoro Kabupaten Luwu Timur dapat ditingkatkan.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Kemmis dan Taggart yang menyatakan bahwa Proses penelitian dalam tindakan merupakan sebuah siklus atau proses daur ulang yang terdiri dari empat aspek fundamental. Diawali dari aspek mengembangkan perencanaan kemudian melakukan tindakan sesuai dengan rencana, observasi/pengamatan terhadap tindakan, dan diakhiri dengan melakukan refleksi. Kegiatan penelitian ditempuh dalam suatu tahapan sehingga pemahaman siswa tercapai dengan baik.
B. Setting Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kelas V SDN 240 Podomoro Kabupaten Luwu Timur sebagai mitra kerja dengan jumlah siswa 25 orang yang terdiri atas 11 orang putra dan 14 orang putri. Pelaksanaan penelitian direncanakan pada semester genap tahun pelajaran 2009 selama 3 bulan.

Memilih siswa kelas V SD sebagai responden dengan alasan: 1) tingkat perkembangan kognitif antara 10 dan 11 tahun, dimana mereka sudah dapat berpikir kritis dan logis. 2) adanya variasi siswa dilihat dari status sosial,pendidikan dan pekerjaan orang tua. 3) adanya masalah yang dialami siswa kelas V dalam belajar IPA 4) di sekolah tersebut belum pernah dilakukan penelitian yang menggunakan pendekatan sains teknologi masyarakat (STM).
C. Fokus dan Deskripsi Fokus Penelitian
1. Fokus penelitian
Fokus dalam penelitian ini adalah peningkatan hasil belajar mata pelajaran IPA siswa kelas V SDN 240 Podomoro Kabupaten Luwu Timur. Untuk mencapai peningkatan hasil belajar siswa tersebut, proses pembelajaran dilaksanakan guru dengan menggunakan pendekatan sains teknologi masyarakat (STM).
2. Deskripsi fokus penelitian
a. Hasil belajar adalah nilai yang diperoleh atau dicapai murid setelah mengikuti proses pembelajaran sesuai dengan standar nilai yang tetapkan guru.
b. Sains teknologi masyarakat (STM) adalah pendekatan pembelajaran yang digunakan guru dalam proses pembelajaran IPA siswa kelas V SDN 240 Podomoro Kabupaten Luwu Timur, sebagai salah upaya yang ditempuh guru untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
D. Prosedur Penelitian¬
Prosedur pelaksanaan penelitian diawali dengan kegiatan observasi yang dilaksanakan pada 26 November 2009 bertujuan untuk mengamati, mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan yang timbul atau ditemui dalam proses belajar mengajar mata pelajaran IPA murid kelas V SDN 240 Podomoro.
Selanjutnya, prosedur pelaksanaan penelitian mengikuti prinsip dasar yang berlaku dalam penelitian tindakan. Proses penelitian tindakan adalah proses siklus yang dimulai dari perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi (perenungan, pemikiran, dan evaluasi). Sesuai dengan prinsip umum penelitian tindakan setiap tahapan dan siklus selakukan dilakukan secara partisipasitoris dan kolaboratif antara peneliti dengan guru dalam sistem sekolah (Kemmis dalam Mustakim, 2008:33).
Sedangkan alur penelitian tindakan menurut Kemmis (dalam Aqib, 2009:30) digambarkan sebagai berikut:








Gambar 3. Skema prosedur penelitian

Skema di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Tahap perencanaan
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, maka peneliti dan guru membangun komunikasi dan berkolaborasi menyusun dan menetapkan rancangan pembelajaran dengan membuat perangkat dan media pembelajaran. Perangkat pembelajaran tersebut berupa:
a. Menyusun rancangan tindakan berupa model Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) meliputi: 1) tujuan pembelajaran, 2) kegiatan pembelajaran, 3) materi pembelajaran, dan 4) Evaluasi.
b. Menyusun indikator, dan kriteria pencapaian hasil belajar siswa.
c. Menyusun alat perekam data berupa: 1) pedoman observasi, yaitu: a) lembar observasi aktivitas mengajar guru; dan, b) aktivitas belajar murid.
2. Tahap pelaksanaan tindakan
Pelaksanaan tindakan ini direncanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Siklus I
Siklus I adalah kegiatan penerapan pendekatan STM dalam proses pembelajaran IPA siswa kelas V SDN 240 Podomoro. Kegiatan pembelajaran siklus I secara garis besar diuraikan sebagai berikut:
1) Guru mempersiapkan murid untuk menerima materi pelajaran.
2) Guru melakukan review materi pelajaran sebelumnya dengan membuat keterkaitan materi yang akan diajarkan.
3) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran melalui pendekatan STM yang akan digunakan dalam proses pembelajaran.
4) Guru menjelaskan materi pelajaran melalui metode ceramah, dan tanya jawab sebagai umpan balik materi pelajaran kepada siswa.
5) Guru membemtuk kelompok diskusi siswa.
6) Guru memberikan tugas diskusi yang perlu dicarikan pemecahan masalahnya oleh kelopok diskusi siswa.
b. Siklus II
Pelaksanaan pembelajaran STM pada siklus II didasarkan pada langkah-langkah pembelajaran yang telah dilaksanakan pada siklus I sebagaimana telah diuraikan pada poin 2a di atas. Sehingga langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran dalam siklus II ini tidak perlu disebutkan lagi.
3. Tahap observasi
Observasi ini dilakukan pada saat pembelajaran (tindakan) sedang dilaksanakan. Pada saat pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sains teknologi masyarakat (STM) peneliti melakukan segenap pengamatan untuk menilai aktivitas guru dan siswa, sehingga dapat diketahui tingkat keterlaksanaannya sesuai dengan pedoman observasi yang telah disusun. Kegiatan observasi difokuskan pada:

a. Aktivitas mengajar guru, dan
b. Aktivitas belajar murid.
Untuk memperoleh kedua data tersebut digunakan lembar observasi dengan 10 aspek penilaian utama. (Lihat lampiran 2 dan 3, halaman ??).
4. Tahap refleksi
Pada setiap pelaksanaan tindakan, baik siklus I maupun II dilakukan refeksi untuk menganalisa, menjelaskan dan menarik kesimpulan atas temuan-temuan saat kegiatan pendekatan pembelajaran STM dilaksanakan oleh guru dan siswa. Hasil refleksi siklus I menjadi dasar untuk melaksanakan kegiatan siklus II apabila tujuan pembelajaran belum tercapai. Selain itu, hasil kegiatan dalam kegiatan refleksi digunakan untuk menyusun kesimpulan terhadap tindakan siklus I dan II jika keduanya dilaksanakan.
E. Data dan Sumber Data
1. Data
Data penelitian ini berupa hasil pekerjaan siswa terhadap soal yang diberikan yang meliputi: (1) tes awal sebelum tindakan, (2) hasil wawancara dengan subyek penelitian dan guru mata pelajaran sains, (3) hasil pengamatan selama pelajaran berlangsung, dan (4) hasil catatan lapangan tentang kegiatan pembelajaran yang berkaitan dengan tindakan.

3. Sumber Data
Data diperoleh dari dua sumber, yaitu data primer dan data sekunder. 1) Data primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil tes belajar siswa baik pada saat pre test maupun post test. 2) Data sekunder, sumber-sumber tertulis yang digunakan sebagai referensi dalam menyusun kerangka teori dan membahas kajian hasil pelaksanaan tindakan.
F. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi
Dilaksanakan pada saat proses belajar mengajar berlangsung melalui pendekatan STM dengan menggunakan lembar observasi. Menurut Riyanto (2001:96) observasi adalah mengadakan pengamatan secara langsung (tanpa alat) terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki, baik pengamatan itu dilakukan di dalam situasi sebenarnya maupun dilakukan dalam situasi buatan yang khusus diadakan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka observasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah melakukan pengamatan terhadap segenap aktivitas mengajar guru dan belajar siswa melalui pendekatan STM.
Jenis data yang dikumpulkan dari observasi terdiri dari :
a. Data tentang kegiatan belajar siswa dalam proses pembelajaran melalui pendekatan STM.
Untuk memperoleh kedua data di atas digunakan instrumen observasi, yaitu :
a. Format observasi kegiatan belajar siswa (terlampir).
2. Tes hasil belajar
Tes hasil belajar dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang pemahaman siswa menyangkut materi pembelajaran. Tes dilakukan pada awal penelitian, pada akhir setiap siklus dan pada akhir semua siklus diberikan.
G. Teknik Analisis Data dan Indikator Keberhasilan
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis kuantitatif, yaitu untuk memperoleh nilai frekuensi, rata-rata, dan persentase hasil belajar murid kelas III. Rumus yang digunakan sesuai dengan ketuntasan minimimal (KKM), sebagai berikut:
1. Nilai rata-rata
∑x
X =
n
Keterangan:
X = Rata-rata kelas
∑x = Jumlah seluruh skor
N = Banyaknya siswa
2. Ketuntasan klasikal

Nilai post test diperoleh setelah tindakan pembelajaran STM dilakukan. Ketuntasan belajar dihitung dengan rumus:
Jumlah siswa mendapat nilai >65 X 100%
Jumlah siswa yang mengikuti
Data hasil observasi keaktifan belajar siswa dianalisi dengan menggunakan analisis deskriptif sederhana dengan menghitung persentase peningkatan hasil belajar siswa dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Selanjutnya, indikator keberhasilan pembelajaran dianggap berhasil bila nilai yang dicapai siswa adalah 65.


















BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi awal pembelajaran
a. Kegiatan pembelajaran pra siklus
Kegiatan awal penelitian adalah melakukan observasi terhadap proses pembelajaran IPA siswa kelas V SDN 240 Podomoro yang dalam hal ini bertindak sebagai subyek penelitian. Observasi pertama dilakukan pada pada jam pertama yaitu pukkul 07.00 – 08.30 Wita dengan pokok “sifat bahan dan kegunaannya”. Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti mengamati, mencatat, mendokumentasikan berbagai temuan dan informasi yang didapat pada saat kegiatan pembelajaran pra siklus.
Observasi yang dilakukan pada pra siklus bertujuan untuk mengamati aktivitas dan hasil belajar siswa terhadap proses pembelajaran yang dilaksanakan guru mata pelajaran IPA sesuai dengan metode atau pendekatan pembelajaran yang sedang dilaksanakan guru. Sementara pembelajaran berlangsung, peneliti bertindak sebagai observer, mencatat semua bentuk aktivitas belajar siswa. Sedangkan di akhir pembelajaran, guru memberikan tes tertulis kepada siswa.
b. Analisis terhadap kegiatan awal pembelajaran
36

Berdasarkan hasil observasi di lapangan di kelas, didaptkan temuan-temuan sebagai berikut:
1) Pada awal pembelajaran pra siklus, guru memasuki ruangan kelas, kemudian mengabsen siswa.
2) Proses pembelajaran dilaksanakan tanpa mengadakan apersepsi sebagai media rangsang bagi siswa terhadap materi yang akan diberikan.
3) Kegiatan inti pembelajaran yaitu guru menjelaskan materi “sifat-sifat benda dan kegunaannya” kemudian menulis materi yang diajarkan di papan tulis.
4) Siswa diberikan rangkuman materi untuk dicatat pada buku tulis.
5) Siswa diberikan tes akhir berupa pertanyan-pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang dituliskan guru di papan tulis.
6) Kegiatan akhir guru memberikan tugas (pekerjaan rumah) pada siswa.
Dari hasil observasi di atas, selanjutnya siswa diberikan tes tertulis di akhir kegiatan pembelajaran, diketahui bahwa hasil belajar siswa kelas V SDN 240 Podomoro sangat rendah. Sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut:









Tabel 4.1
Distribusi nilai hasil belajar siswa Pra Siklus
NO NAMA SISWA
TES AWAL
1 Rs 6.00
2 Sy 5.00
3 Fr 6.00
4 Ak 5.00
5 Rf 4.00
6 Ar 6.00
7 Ft 5.00
8 Jr 7.00
9 Rh 6.00
10 As 5.00
11 Az 6.00
12 Ma 5.00
13 Mi 5.50
14 Nw 5.00
15 He 5.00
16 Aa 5.00
17 Aw 5.00
18 Mi 6.00
19 Fd 6.00
20 Ir 6.00
21 Sd 6.50
22 Rt 5.00
23 Rn 5.50
24 Ir 5.50
25 Sr 6.00
Jumlah
Nilai Rata-Rata 136
5.4
Sumber: Tes Siklus I, Januari 2010.
Berdasarkan tabel 4.1 di atas, diketahui bahwa hasil belajar siswa pada saat dilakukan pre tes skor total yang dicapai kelas adalah 136 dengan tingkat nilai rata-rata kelas hanya 5.4. Dengan demikian, diperlukan upaya tindak lanjut meningkatkan hasil belajar siswa di atas. Jika dipersentasekan, maka hasil belajar siswa pra siklus yang memperoleh nilai terbanyak adalah nilai 5, yaitu sebesar 52%, dan nilai 6 sebesar 40%, sedangkan nilai 4 adalah 4%. Dapat ditunjukkan pada grafik berikut:





Gambar 4. Grafik capaian hasil belajar pra siklus
Berdasarkan hasil belajar yang yelah dicapai siswa tersebut sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4.3 dan grafik di atas, maka berdasarkan hasil diskusi dengan guru mata pelajaran disepakati bahwa tindakan pembelajaran diharus dilanjutkan pada siklus II, sehingga hasil belajar siswa dapat dicapai lebih optimal.
2. Paparan data siklus I
a. Pertemuan I
1) Perencanaan tindakan
Pertemuan pertama dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 1September 2009. Dalam melaksanakan pembelajaran, guru memulai dengan mempersiapkan perangkat pembelajaran meliputi: 1) silabus, 2) RPP, 3) instrumen penilaian dan pengamatan observasi.
2) Pelaksanaan tindakan
Sebelum melaksanakan proses pembelajaran, guru menunjuk ketua kelas untuk memimpin do’a bersama. Setelah hal tersebut sudah dilakukan, guru selanjutnya melaksanakan absensi kehadiran siswa, dan diketahui bahwa seluruh siswa hadir. Selanjutnya guru melakukan apersepsi, yaitu menjelaskan tujuan pembelajaran dengan melalui pendekatan sains teknologi masyarakat (STM), dan mengaitkan materi yang akan diajarkan dengan materi pelajaran lainnya. Kemudian memberikan umpan balik kepada siswa terkait dengan materi yang diajarkan.
3) Observasi
Selama kegiatan proses pembelajaran berlangsung, peneliti selaku observer melakukan serangkaian pengamatan untuk merekam segenap aktivitas belajar siswa melalui lembar observasi yang telah disiapkan. Ada sepuluh aspek yang diamati oleh observer yaitu: 1) Kesiapan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran, 2) kerjasa sama, 3) motivasi, 4) keaktifan mengikuti proses pembelajaran, 5) keberanian mengemukakan pendapat, 6) minat belajar, 7) kepemimpinan, 8) penghargaan terhadap orang lain, 9) kemampuan menganalisis masalah, dan 10) inisiatif individu.
Data mengenai aktivitas belajar siswa sebagaimana dalam tabel 4.1 berikut:


Tabel 4.2
Hasil pengamatan aktivitas belajar siswa siklus I pertemuan I
No Aspek yang dinilai Hasil Pengamatan Keterangan
YA TIDAK
1

2
3
4

5

6
7
8
9

10 Kesiapan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran
Kerjasa sama
Motivasi
Keaktifan mengikuti proses pembelajaran
Keberanian mengemukakan pendapat
Minat belajar
Kepemimpinan
Penghargaan terhadap orang lain
Kemampuan menganalisis masalah
Inisiatif individu √



























Sumber: Observasi, Januari 2010.
Berdasarkan informasi tabel 4.2 di atas, diketahui bahwa aktivitas belajar siswa seara umum masih kurang memuaskan. Hal tersebut disimpulkan berdasarkan ketercapaian aktivitas belajar dimana hanya ada tiga aspek yang dipenuhi atau sering dilakukan siswa, yaitu: kesiapan untuk mengikuti pelajaran, kekatifan mengikuti pelajaran, dan minat belajar. Sedangkan tujuh aspek lainnya belum tercapai, baik dari aspe: kerja sama, motivasi, keberanian mengemukakan pendapat, kepemimpinan, penghargaan kepada orang lain, kemampuan menganalis masalah, maupun inisiatif individu.
Berdasarkan tabel di atas, maka ketercapaian aktivitas belajar siswa jika dipersentasekan sesuai dengan hasil pengamatan, pada kategori “Tidak” adalah sebesar 70%, sedangkan sisanya sejumlah 30% adalah kategori “Ya”. Dengan demikian kesimpulan yang dapat ditarikk adalah, bahwa aktivitas belajar siswa kelas V SDN 240 Podomoro Kabupaten Luwu Timur masih rendah.
Berdasarkan hasil diskusi dengan guru mata pelajaran terhadap hasil penilaian aktivitas belajar siswa di atas, maka disepakati untuk melanjutkan tindakan pada pertemuan II untuk lebih meningkatkan lagi aktivitas belajar siswa di atas. Sehingga strategi pelaksanaan tindakan pertemuan II disusun dan dilaksanakan lebih baik.
4) Refleksi
Refleksi dilakukan untuk mencatat semua temuan baik kelebihan maupun kekurangan yang terdapat pada siklus I. Dari hasil pengamatan dan dengan melihat data yang diperoleh dari hasil pengamatan pada siklus I, peneliti mengambil kesimpulan bahwa keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran masih sangat kurang. Setelah peneliti amati hal ini disebabkan karena kurang adanya fariasi dalam mengajar, sehingga siswapun enggan untuk mengikuti pelajaran. Dari hasil analisis di atas dan data-data yang telah diperoleh akan peneliti gunakan untuk merencanakan tindakan pada siklus berikutnya.
b. Pertemuan II
1) Perencanaan tindakan
Pertemuan pertama dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 18 Desember 2009. Dalam melaksanakan pembelajaran, guru memulai dengan mempersiapkan perangkat pembelajaran meliputi: 1) silabus, 2) RPP, 3) instrumen penilaian dan pengamatan observasi.
2) Pelaksanaan tindakan
Sebelum melaksanakan proses pembelajaran, guru menunjuk ketua kelas untuk memimpin do’a bersama. Setelah hal tersebut sudah dilakukan, guru selanjutnya melaksanakan absensi kehadiran siswa, dan diketahui bahwa seluruh siswa hadir. Selanjutnya guru melakukan apersepsi, yaitu menjelaskan tujuan pembelajaran dengan melalui pendekatan sains teknologi masyarakat (STM), dan mengaitkan materi yang akan diajarkan dengan materi pelajaran lainnya. Kemudian memberikan umpan balik kepada siswa terkait dengan materi yang diajarkan.
3) Observasi
Selama kegiatan proses pembelajaran berlangsung, peneliti selaku observer melakukan serangkaian pengamatan untuk merekam segenap aktivitas belajar siswa melalui lembar observasi yang telah disiapkan. Ada sepuluh aspek yang diamati oleh observer yaitu: 1) Kesiapan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran, 2) kerjasa sama, 3) motivasi, 4) keaktifan mengikuti proses pembelajaran, 5) keberanian mengemukakan pendapat, 6) minat belajar, 7) kepemimpinan, 8) penghargaan terhadap orang lain, 9) kemampuan menganalisis masalah, dan 10) inisiatif individu. Data mengenai aktivitas belajar siswa sebagaimana dalam tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.3
Hasil pengamatan aktivitas belajar siswa siklus I pertemuan II
No Aspek yang dinilai Hasil Pengamatan Keterangan
YA TIDAK
1

2
3
4

5

6
7
8
9

10 Kesiapan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran
Kerjasa sama
Motivasi
Keaktifan mengikuti proses pembelajaran
Keberanian mengemukakan pendapat
Minat belajar
Kepemimpinan
Penghargaan terhadap orang lain
Kemampuan menganalisis masalah
Inisiatif individu √



























Sumber: Observasi, Januari 2010.
Berdasarkan informasi tabel 4.3 di atas, diketahui bahwa aktivitas belajar siswa seara lebih baik dari aktivitas pembelajaran yang ditunjukkan pada pertemuan I. Aktivitas belajar siswa pada pertemuan II lebih baik karena proses pembelajaran dilakukan guru dengan perencanaan matang, yaitu dengan memberikan tugas-tugas diskusi kelompok belajar guna membangun komunikasi antar siswa dalam kelompok, dan untuk mendiskusikan konsep-konsep baru materi yang telah diajarkan. Dengan demikian, pemahaman konsep siswa dapat terbangun.
Berdasarkan hasil pengamatan sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 4.2 di atas, diketahui bahwa dari sepuluh aspek yang diamati, hanya terdapat tiga aspek saja yang belum terpenuhhi atau sering dilakukan siswa, yaitu aspek kepemimpinan, kemampuan menganalisis masalah dan inisitif individu. Aspek kepemimpinan dan inisitaif individu masih rendah disebabkan karena hanya ketua-ketua kelompok saja yang yang memandu dan memimpin diskusi, sedangkan kemampuan menganalisis masalah belum cukup baik mengingat keterbatasan cara berpikir siswa, sehingga diperlukan bimbingan guru untuk memecahkan persoalan-persoalan yang sedang didiskusikan.
Ketercapaian aktivitas belajar siswa jika dipersentasekan sesuai dengan hasil pengamatan, pada kategori “Ya” adalah sebesar 70%, sedangkan sisanya sejumlah 30% adalah kategori “Tidak”. Dengan demikian kesimpulan yang dapat ditarikk adalah, bahwa aktivitas belajar siswa kelas V SDN 240 Podomoro Kabupaten Luwu Timur lebih baik dan meningkat dibandingkan hasil yang dicapai pada pertemuan I.
Walaupun aktivitas belajar siswa pada pertemuan II lebih baik dibandingkan pertemuan I, berdasarkan hasil diskusi dengan guru mata pelajaran terhadap hasil penilaian aktivitas belajar siswa di atas, maka disepakati untuk melanjutkan tindakan pada siklus II, sehingga aktivitas belajar siswa lebih dapat ditingkatkan lagi. Pelaksanaan tindakan siklus II dilakukan deegan perencanaan matang, dan strategi pembelajaran yang lebih baik, yaitu dengan melibatkan siswa dalam proses pembelajaran.
4) Refleksi
Refleksi dilakukan untuk mencatat semua temuan baik kelebihan maupun kekurangan yang terdapat pada siklus I. Dari hasil pengamatan dan dengan melihat data yang diperoleh dari hasil pengamatan pada siklus I, peneliti mengambil kesimpulan bahwa keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran masih sangat kurang. Setelah peneliti amati hal ini disebabkan karena kurang adanya fariasi dalam mengajar, sehingga siswapun enggan untuk mengikuti pelajaran. Dari hasil analisis di atas dan data-data yang telah diperoleh akan peneliti gunakan untuk merencanakan tindakan pada siklus berikutnya.
c. Hasil belajar siklus I
Hasil belajar adalah tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang telah diajarkan, dalam hal ini hasil belajar yang dicapai siswa melalui pendekatan sains teknologi masyarakat yang digunakan guru dalam proses pembelajaran. Untuk mengetahui dan mengukur tingkat penguasaan dan hasil belajar siswa terhadap materi pelajaran tersebut dapat dilakukan melalui serangkaian tes, baik lisan maupun tertulis. Hasil belajar siswa dapat dibeda-bedakan berdasarkan kriteria atau standar tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku di sekolah. Hasil belajar tersebut umumnya dapat dikategorikan sangat tinggi, tinggi, sedang,kurang, dan tidak baik setelah dilakukan perhitungan dengan cara-cara tertentu.
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan kepada siswa melalui tes tertulis yang diberikan diakhir kegiatan pembelajaran siklus I, maka hasil belajar siswa dapat dilihat pada tabel berikut:


Tabel 4.4
Distribusi nilai hasil belajar siswa Siklus I
NO NAMA SISWA NILAI
PRA SIKLUS SIKLUS I
1 Rs 6.00 7.00
2 Sy 5.00 6.00
3 Fr 6.00 7.00
4 Ak 5.00 6.50
5 Rf 4.00 4.50
6 Ar 6.00 6.50
7 Ft 5.00 6.00
8 Jr 7.00 7.50
9 Rh 6.00 7.00
10 As 5.00 6.00
11 Az 6.00 6.50
12 Ma 5.00 6.00
13 Mi 5.50 6.00
14 Nw 5.00 6.00
15 He 5.00 6.50
16 Aa 5.00 6.00
17 Aw 5.00 6.00
18 Mi 6.00 7.00
19 Fd 6.00 6.50
20 Ir 6.00 7.00
21 Sd 6.50 7.00
22 Rt 5.00 6.00
23 Rn 5.50 6.00
24 Ir 5.50 6.50
25 Sr 6.00 6.50
Jumlah
Nilai Rata-Rata 136
5.4 155
6.2
Sumber: Tes Siklus I, Januari 2010.
Berdasarkan tabel 4.4 di atas, diketahui bahwa hasil belajar siswa pada saat dilakukan pre tes sebelum siklus I dilaksanakan, skor total yang dicapai kelas adalah 136 dengan tingkat nilai rata-rata kelas hanya 5.4. nilai tersebut masih berada di bawah nilai ketuntasan minimal. Sedangkan saat siklus I telah dilaksanakan, diketahui bahwa skor total kelas meningkat menjadi 155, dan nilai-rata kelas yang dicapai adalah 6.2. nilai yang dicapai pada siklus I tersebut juga masih berada di bawah skor ketuntasan minimal. Jika dipersentasekan, maka hasil belajar siswa siklus I yang memperoleh nilai 7 hanya 24%, nilai 6 sejumlah 68%, dan nilai 4 adalah 4%. Dapat ditunjukkan pada grafik berikut:


Gambar 5. Grafik capaian hasil belajar siklus I
Berdasarkan hasil belajar yang yelah dicapai siswa tersebut sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4.4 dan grafik di atas, maka berdasarkan hasil diskusi dengan guru mata pelajaran disepakati bahwa tindakan pembelajaran diharus dilanjutkan pada siklus II, sehingga hasil belajar siswa dapat dicapai lebh optimal.



3. Paparan data siklus II
a. Pertemuan I
1) Perencanaan tindakan
Pertemuan pertama dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 1September 2010. Dalam melaksanakan pembelajaran, guru memulai dengan mempersiapkan perangkat pembelajaran meliputi: 1) silabus, 2) RPP, 3) instrumen penilaian dan pengamatan observasi.
2) Pelaksanaan tindakan
Sebelum melaksanakan proses pembelajaran, guru menunjuk ketua kelas untuk memimpin do’a bersama. Setelah hal tersebut sudah dilakukan, guru selanjutnya melaksanakan absensi kehadiran siswa, dan diketahui bahwa seluruh siswa hadir. Selanjutnya guru melakukan apersepsi, yaitu menjelaskan tujuan pembelajaran dengan melalui pendekatan sains teknologi masyarakat (STM), dan mengaitkan materi yang akan diajarkan dengan materi pelajaran lainnya. Kemudian memberikan umpan balik kepada siswa terkait dengan materi yang diajarkan.
3) Observasi
Selama kegiatan proses pembelajaran berlangsung, peneliti selaku observer melakukan serangkaian pengamatan untuk merekam segenap aktivitas belajar siswa melalui lembar observasi yang telah disiapkan. Ada sepuluh aspek yang diamati oleh observer yaitu: 1) Kesiapan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran, 2) kerjasa sama, 3) motivasi, 4) keaktifan mengikuti proses pembelajaran, 5) keberanian mengemukakan pendapat, 6) minat belajar, 7) kepemimpinan, 8) penghargaan terhadap orang lain, 9) kemampuan menganalisis masalah, dan 10) inisiatif individu.
Data mengenai aktivitas belajar siswa sebagaimana dalam tabel 4.1 berikut:
Tabel 4.5
Hasil pengamatan aktivitas belajar siswa siklus II pertemuan I
No Aspek yang dinilai Hasil Pengamatan Keterangan
YA TIDAK
1

2
3
4

5

6
7
8
9

10 Kesiapan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran
Kerjasa sama
Motivasi
Keaktifan mengikuti proses pembelajaran
Keberanian mengemukakan pendapat
Minat belajar
Kepemimpinan
Penghargaan terhadap orang lain
Kemampuan menganalisis masalah
Inisiatif individu √


























Sumber: Observasi, Januari 2010.
Berdasarkan informasi tabel 4.5 di atas, diketahui bahwa aktivitas belajar siswa seara umum jauh lebih baik jika dibandingkan dengan aktivitas belajar siklus I. Hasil observasi menunjukkan bahwa hanya satu aspek yang tidak terpenuhi, yaitu aspek kepemimpinan, sedangkan aspek-aspek lainnya sudah terpenuhi dengan baik.
Berdasarkan tabel di atas, maka ketercapaian aktivitas belajar siswa jika dipersentasekan sesuai dengan hasil pengamatan, pada kategori “Ya” mencapai 90%, dan kategori “Tidak” hanya sejumlah 10%.
Berdasarkan hasil diskusi dengan guru mata pelajaran terhadap hasil penilaian aktivitas belajar siswa di atas, maka disepakati untuk melanjutkan tindakan pada pertemuan II, sehingga aspek-aspek yang diamati terhadap aktivitas belajar siswa dapat terpenuhi dengan baik.
4) Refleksi
Refleksi dilakukan untuk mencatat semua temuan baik kelebihan maupun kekurangan yang terdapat pada siklus I. Dari hasil pengamatan dan dengan melihat data yang diperoleh dari hasil pengamatan pada pertemuan I, peneliti mengambil kesimpulan bahwa keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran sudah baik, walaupun masih teradapat satu aspek pengamatan yang tidak terplenuhi. Setelah peneliti amati, hal tersebut disebabkan karena pembelajaran dilakukan dalam bentuk kelompok diskusi, sehingga secara otomatis hanya ketua-ketua kelompok saja yang menjadi pemimpin dalam belajar.
Pertemuan II
1) Perencanaan tindakan
Pertemuan pertama dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 25 November 2009. Dalam melaksanakan pembelajaran, guru memulai dengan mempersiapkan perangkat pembelajaran meliputi: 1) silabus, 2) RPP, 3) instrumen penilaian dan pengamatan observasi.
2) Pelaksanaan tindakan
Sebelum melaksanakan proses pembelajaran, guru menunjuk ketua kelas untuk memimpin do’a bersama. Setelah hal tersebut sudah dilakukan, guru selanjutnya melaksanakan absensi kehadiran siswa, dan diketahui bahwa seluruh siswa hadir. Selanjutnya guru melakukan apersepsi, yaitu menjelaskan tujuan pembelajaran dengan melalui pendekatan sains teknologi masyarakat (STM), dan mengaitkan materi yang akan diajarkan dengan materi pelajaran lainnya. Kemudian memberikan umpan balik kepada siswa terkait dengan materi yang diajarkan.
3) Observasi
Selama kegiatan proses pembelajaran berlangsung, peneliti selaku observer melakukan serangkaian pengamatan untuk merekam segenap aktivitas belajar siswa melalui lembar observasi yang telah disiapkan. Ada sepuluh aspek yang diamati oleh observer yaitu: 1) Kesiapan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran, 2) kerjasa sama, 3) motivasi, 4) keaktifan mengikuti proses pembelajaran, 5) keberanian mengemukakan pendapat, 6) minat belajar, 7) kepemimpinan, 8) penghargaan terhadap orang lain, 9) kemampuan menganalisis masalah, dan 10) inisiatif individu. Data mengenai aktivitas belajar siswa sebagaimana dalam tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.6
Hasil pengamatan aktivitas belajar siswa siklus II pertemuan II
No Aspek yang dinilai Hasil Pengamatan Keterangan
YA TIDAK
1

2
3
4

5

6
7
8
9

10 Kesiapan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran
Kerjasa sama
Motivasi
Keaktifan mengikuti proses pembelajaran
Keberanian mengemukakan pendapat
Minat belajar
Kepemimpinan
Penghargaan terhadap orang lain
Kemampuan menganalisis masalah
Inisiatif individu √
























Sumber: Observasi, Januari 2010.
Berdasarkan informasi tabel 4.6 di atas, diketahui bahwa aktivitas belajar siswa secara umum sama dengan apa yang diperoleh dari pembelajaran pertemuan I, yaitu hanya terdapat satu aspek yang tidak terpenuhi, yaitu aspek kepemimpinan, sedangkan aspek-aspek lainnya sudah terpenuhi dengan baik. Berdasarkan tabel tersebut, maka ketercapaian aktivitas belajar siswa jika dipersentasekan sesuai dengan hasil pengamatan, pada kategori “Ya” mencapai 90%, dan kategori “Tidak” hanya sejumlah 10%.
Berdasarkan hasil diskusi dengan guru mata pelajaran terhadap hasil penilaian aktivitas belajar siswa di atas, maka disepakati untuk tidak melanjutkan tindakan, dengan pertimbangan bahwa apa yang sudah dicapai telah memenuhi tujuan pembelajaran yang dilaksanakan.
4) Refleksi
Berdasarkan hasil temuan penelitian diketahui bahwa tidak terdapat hal-hal yang dianggap sebagai hambatan selama kegiatan pembelajaran dilaksanakan guru dan siswa di kelas. Pendekatan pembelajaran sains teknologi masyarakat (STM) dapat dilaksanakan guru dengan baik, dan hasil yang diperoleh adalah meningkatnya hasil belajar siswa kelas V SDN 204 Podomoro Kabupaten Luwu Selatan.
b. Hasil belajar siklus II
Hasil belajar adalah tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang telah diajarkan, dalam hal ini hasil belajar yang dicapai siswa melalui pendekatan sains teknologi masyarakat yang digunakan guru dalam proses pembelajaran. Untuk mengetahui dan mengukur tingkat penguasaan dan hasil belajar siswa terhadap materi pelajaran tersebut dapat dilakukan melalui serangkaian tes, baik lisan maupun tertulis. Hasil belajar siswa dapat dibeda-bedakan berdasarkan kriteria atau standar tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku di sekolah. Hasil belajar tersebut umumnya dapat dikategorikan sangat tinggi, tinggi, sedang,kurang, dan tidak baik setelah dilakukan perhitungan dengan cara-cara tertentu.
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan kepada siswa melalui tes tertulis yang diberikan diakhir kegiatan pembelajaran siklus I, maka hasil belajar siswa dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.7
Distribusi nilai hasil belajar siswa Siklus II
NO NAMA SISWA NILAI
SIKLUS I SIKLUS II
1 Rs 7.00 9.00
2 Sy 6.00 7.50
3 Fr 7.00 8.00
4 Ak 6.50 7.50
5 Rf 4.50 5.50
6 Ar 6.50 7.00
7 Ft 6.00 7.00
8 Jr 7.50 8.00
9 Rh 7.00 7.50
10 As 6.00 6.50
11 Az 6.50 7.00
12 Ma 6.00 7.00
13 Mi 6.00 7.00
14 Nw 6.00 7.00
15 He 6.50 7.00
16 Aa 6.00 7.00
17 Aw 6.00 7.00
18 Mi 7.00 7.50
19 Fd 6.50 7.00
20 Ir 7.00 8.00
21 Sd 7.00 7.50
22 Rt 6.00 6.50
23 Rn 6.00 7.00
24 Ir 6.50 8.00
25 Sr 6.50 7.50
Jumlah
Nilai Rata-Rata 155
6.2 177
7.0
Sumber: Tes Siklus II, November 2009.
Berdasarkan tabel 4.7 di atas, diketahui bahwa hasil belajar siswa siklus II meningkat dibandingkan hasil tes siklus I. Jika siklus I hanya skor 155 dan nilai rata-rata kelas mencapai 6.2, maka pada siklus II skor total yang dicapai siswa meningkat menjadi 177 dengan nilai rata-rata kelas 7.0. hasil tersebut tentu saja dirasakan cukup memuaskan, mengingat nilai rata-rata 7.0 tersebut sudah melebihi dari nilai ketuntasan minimal sebagaimana telah dijelaskan bagian terdahulu dalam skripsi ini. Jika dipersentasekan, maka hasil belajar siswa siklus II, pada umumnya siswa mencapai nilai 7 sebesar 68%, nilai nilai 8 sejumlah 16%, nilai 6 adalah 8%, dan 1 orang lainnya atau nilai 9 adalah 4%. Dapat ditunjukkan pada grafik berikut:








Gambar 6. Grafik capaian hasil belajar siklus II
Berdasarkan hasil belajar yang yelah dicapai siswa tersebut sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4.7 dan grafik di atas, disimpulkan bahwa hasil belajar siswa mata pelajaran IPA siswa kelas V SDN 240 Podomoro Kabupaten Luwu Timur dapat ditingkatkan dengan menggunakan pendekatan sains teknologi masyarakat, sebagaimana ditunjukkan dalam hasil penelitian ini. Dengan demikian, berdasarkan hasil diskusi dengan guru mata pelajaran bahwa kegiatan pembelajaran dianggap tidak perlu dilanjutkan lagi dalam siklus berikutnya.
B. Pembahasan
Dengan melihat tabel hasil penelitian di atas dan dari perolehan data hasil observasi dan hasil belajar siswa, serta hasil refleksi maka hasil penelitian terhadap pelaksanaan tindakan perlu dibahas sebagai berikut:
1. Siklus I
Uraian pembahasan pada siklus I yang diperoleh dari hasil pengamatan dan refleksi diperoleh kesimpulan bahwa ternyata masih banyak kendala yang ditemui, materi sifat benda dan kegunaannya agaknya masih dipandang sebagai materi yang membingungkan. Ini dapat dilihat dari ekspresi siswa yang agaknya kurang menyenangi materi sifat benda dan kegunaannya, sehingga banyak siswa yang tidak memperhatikan penjelasan guru. Selain itu ada beberapa siswa yang mengulang dan menurut hasil pengamatan, siswa tersebut lamban dalam menangkap materi pelajaran yang diterangkan dan siswa tersebut merupakan biang kejelekan yang dapat mempengaruhi siswa lain menjadi malas dan enggan belajar.
Hasil observasi kegiatan pembelajaran menunjukkan bahwa dari sepuluh aspek penilaian hanya tiga aspek yang yang terpenuhi, yaitu aspek kepemimpinan, kemampuan menganalisis masalah dan inisitif individu. Aspek kepemimpinan dan inisitaif individu masih rendah disebabkan karena hanya ketua-ketua kelompok saja yang yang memandu dan memimpin diskusi, sedangkan kemampuan menganalisis masalah belum cukup baik mengingat keterbatasan cara berpikir siswa, sehingga diperlukan bimbingan guru untuk memecahkan persoalan-persoalan yang sedang didiskusikan.
Ketercapaian aktivitas belajar siswa jika dipersentasekan sesuai dengan hasil pengamatan, pada kategori “Ya” adalah sebesar 70%, sedangkan sisanya sejumlah 30% adalah kategori “Tidak”. Sedangkan hasil belajar siswa yang diperoleh melalui tes tertulis yaitu skor total kelas 155, denagn nilai rata-rata 6.2. Nilai siklus I tersebut masih berada di bawah nilai ketuntasan minimal (KKM), sehingga tindakan harus dilanjutkan pada siklus II.
2. Siklus II
Aktivitas belajar siswa seara umum jauh lebih baik jika dibandingkan dengan aktivitas belajar siklus I. Hasil observasi menunjukkan bahwa hanya satu aspek yang tidak terpenuhi, yaitu aspek kepemimpinan, sedangkan aspek-aspek lainnya sudah terpenuhi dengan baik. Berdasarkan tabel di atas, maka ketercapaian aktivitas belajar siswa jika dipersentasekan sesuai dengan hasil pengamatan, pada kategori “Ya” mencapai 90%, dan kategori “Tidak” hanya sejumlah 10%.
Berdasarkan hasil diskusi dengan guru mata pelajaran terhadap hasil penilaian aktivitas belajar siswa di atas, maka disepakati untuk melanjutkan tindakan pada pertemuan II, sehingga aspek-aspek yang diamati terhadap aktivitas belajar siswa dapat terpenuhi dengan baik. Sedangkan hasil belajar siswa siklus II meningkat dibandingkan siklus I. Skor total yang dicapai siswa meningkat menjadi 177 dengan nilai rata-rata kelas 7.0. Hasil tersebut tentu saja dirasakan cukup memuaskan, mengingat nilai rata-rata 7.0 tersebut sudah melebihi dari nilai ketuntasan minimal sebagaimana telah dijelaskan bagian terdahulu dalam skripsi ini. Jika dipersentasekan, maka hasil belajar siswa siklus II, pada umumnya siswa mencapai nilai 7 sebesar 68%, nilai nilai 8 sejumlah 16%, nilai 6 adalah 8%, dan 1 orang lainnya atau nilai 9 adalah 4%.
Peningkatan hasil belajar IPA siswa kelas V SDN 240 Podomoro baik pada siklus I maupun siklus II tidak terlepas dari pelaksanaan dan pengelolaan pembelajaran yang dilakukan guru secara baik sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran STM yang menekankan pada aktivitas pembelajaran siswa. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan Samatowa (20066:37) yang mengungkapkan bahwa pendekatan STM memberikan pengetahuan kepada siswa bagaimana mengatasi masalah atau isue-isue sosial yang ada di sekitarnya seperti pencemaran, bencana alam, kekeringan dan lain-lain. Dalam pembelajarannya ini, guru dalam pembelajarannya, guru mengemukakan masalah actual yang sering terjadi dalam kehidupan sehari hari. Kemudian mengungkap pemahaman awal siswa dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan.
Dengan demikian, disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran STM mampu meningkatkan hasil belajar IPA siswa, khususnya pada siswa kelas V SDN 240 Podomoro Kabuplaten Luwu Timur.





BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai, maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah:
1. Hasil belajar siswa kelas V SDN 240 Podomoro Kabupaten Luwu Timur dapat ditingkatkan melalui pendekatan sains teknologi masyarakat (STM), dimana skor yang dicapai siswa pada pra siklus berada pada kategori rendah, dan meningkat menjadi kategori baik pada pelaksanaan tindakan siklus II.
2. Hal-hal yang dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SDN 240 Podomoro Kabupaten Luwu antara lain dengan menjelaskan materi pelajaran secara keseluruhan untuk membangun konsep dan wawasan siswa, memberikan tugas-tugas diskusi untuk memecahkan masalah yang diberikan, dan dengan menerapkan pendekatan sains teknologi masyarakat (STM) dalam proses pembelajaran IPA.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas, beberapa saran yang dapat diajukan penulis adalah:
1. Guru senantiasa melaksanakan refleksi proses pembelajaran yang telah dilaksanakan sehingga mengetahui kelamahan dan kekurangan metode pembelajaran yang digunakan selama ini.
2. Guru harus mampu menggunakan metode pembelajaran yang tepat, karena dengan metode yang tepat aktivitas dan hasil belajar siswa dapat ditingkatkan, sebab pembelajaran terlaksana dengan baik dan menyenangkan bagi siswa.
3. Peneliti lain diharapkan dapat mengembangkan dan menindaklanjuti hasil penelitian ini demi kemajuan pendidikan nasional, khususnya pada tingkat sekolah dasar.
















DAFTAR PUSTAKA

Asyari, 2006. Penerapan Pendekatan STM Dalam Pembelajaran Sains di SD. Depdiknas. Direktorat Dikti.

Arikunto, Suharsimi. 2006, Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT Bumi Aksara.

Aqib, Zainal. 2009. Penelitian Tindakan Kelas untuk Guru. Bandung: Yrama Widya.

Campbell, dkk ,1987 . Biologi Edisi Kelima- Jilid 1: Jakarta Erlangga.

Depdiknas, 1996. Pendidikan IPA . Jakarta: Dikti.

Depdiknas, 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Mata Pelajaran Sains. Jakarta. Depdiknas.

Hairida, 1996. Pengajaran Konsep Zat Aditif Dengan Menggunakan pendekatan Sains Teknologi Masyarakat. Tesis tidak diterbitkan :IKIP Bandung.

Haryanto , 2004. Sains Kelas V SD . Jakarta: Erlangga.

Khaerudin dan Sujiono, 2005. Pembelajaran Sains Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi .Makassar: UNM.

Moleong. 1994. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nurkancana, 1986. Evaluasi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional.

Poedjiadi, 1993. Mewujudkan Literasi Sains Dan Teknologi Melalui Pendidikan: IKIP Bandung.

Purba dan Wartono, 1998. Strategi Belajar Mengajar Pendidikan Sains. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Putra Wina, 1993. Mewujudkan Literasi Sains Dan Teknologi Melalui Pendidikan: IKIP Bandung.

Manan Ratu 2002. Belajar dan pembelajaran. Surabaya: Unesa University Press.

Riyanto, Yatim. 2001. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: SIC.

Samatowa Usman, 2006. Bagaimana Pembelajaran IPA di SD. Jakarta: Direktorat Dikti dan Direktorat Ketenagaan.

Sudarsono. 1996. Pedoman Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas, Rencana Desain Dan Implementasinya. Yogiakarta: UP3SD.

Suparno, paul. dkk. 2001. Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi. Jogyakarta: Kanisius.

Sutawidjaja. dkk. 1991. Pembelajaran Matematika di SD, Jurnal Matematika, IPA dan Pengajarannya. Jakarta: PPTK Dirjen Dikti.

Wardani IGAK, 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka.